Senin, 18 Januari 2016

BAB 16: Jodoh: Kepingan Puzzle Yang Hilang

BAB 16: Jodoh: Kepingan Puzzle yang hilang

"Ada apa kesini?"
"Yah, sebenernya aku nggak percaya sama dugaanmu kalau aku bakal ketemu jodohku tahun ini. Tapi dugaanmu membuatku banyak berharap. Yah, cukup memberiku banyak harapan. Meski pada akhirnya sampai akhir tahunpun tidak ada yang datang. Tapi aku ingin berterimakasih padamu karena telah membuatku menjadi perempuan yang lebih baik untuk jodohku nanti."
"Bagaimana kalau kubilang jodohmu ada disini. Apa kau mau percaya?"
"Apa maksudmu?"
"Bagaimana kalau kubilang aku adalah orang itu, apa kau bersedia menerima dia?"

BAB 15: Muvon

πŸ‚MuvonπŸ‚
Aku ingin tertawa. Tidak tahu kenapa, lucu saja bagiku. Rasanya seperti baru kemarin, aku dan dia berebut buku perpustakaan, berebut sapu piket, berebut bangku untuk duduk, kita berebut banyak hal. Aku ingat sekali betapa isengnya dia waktu kita berada di kelas tujuh sampai-sampai aku memukul punggungnya dengan buku cetak dan kemudian dia jatuh sakit. Dia selalu menggangguku, apapun yang kulakukan. Dia merebut bolpoinku ketika aku sedang menulis. Dia menyembunyikan tip-xku dengan sengaja ketika aku benar-benar butuh. Waktu itu aku merasa, dia benar-benar anak laki-laki yang super menyebalkan. Jadi aku mengacuhkannya, dan perlahan hubungan pertemanan kita mulai menjadi jauh. Dia selalu buang muka jika berpapasan denganku di jalan, dan aku tak pernah ada niatan untuk memanggilnya duluan. Kita benar-benar seperti orang asing. Dan ketika kelas delapan, saat aku tak lagi berada satu kelas dengannya, aku mulai merasa aku merindukannya.
Aku pernah memimpikan hal ini sebelumnya. Duduk berdua saja dengannya, membicarakan apa saja bersamanya, dan tertawa lepas bersama-sama.
#Tokoh utama cerita gimana dia dulu suka banget sama dia tp semuanya berubah. Tokoh utama menolak cinta pertamanya untuk laki-laki yang belum jelas perasaannya.

Dia masih orang yang sama. Dia masih laki-laki yang pernah kusukai pertama kali di sekolah menengah pertama. Akupun masih sama saja. Aku masih teman perempuan sekelasnya yang pernah diam-diam menyukainya. Kemarin-kemarin aku juga masih menganggap kalau belum ada satupun yang berubah diantara kita. Tapi ternyata aku salah. Perasaanku padanya tak lagi sama. Perasaanku padanya telah berbeda.

"Dari awal kita berteman, aku selalu merasa kalau dari sekian banyak teman perempuan yang kau punya, aku hanya salah satu dari teman biasa lainnya. Meski kita berada di kelas yang berbeda setelahnya, aku masih sering memikirkanmu. Tapi aku tidak yakin kau pernah memikirkanku juga. Karena ketika kita bertemu, aku selalu jadi orang yang menunggu, tapi kau tak pernah tergerak untuk menyapaku duluan. Aku ingin kau teringat padaku sesekali. Itulah kenapa aku selalu berusaha untuk berada di peringkat atas, hanya karena aku ingin tampak di matamu."
"Dari saat itu aku tidak pernah melihat laki-laki lain karena laki-laki yang kuharapkan hanya kamu."
"Lalu?"
"Lalu hari itu datang. Hari ketika aku menitipkan surat pernyataan cintaku pada sahabatku dan dihadapanmu, dia palah mengakui kalau surat itu darinya untukmu. Aku sakit hati sekali. Padahal aku begitu mempercayainya."
"Lama aku tidak berbicara dengannya. Hubungan kami jadi buruk. Aku yang tersakiti disini. Tapi tidak tahu kenapa palah aku yang harus minta maaf duluan. Aku memintanya untuk jujur padamu tentang semuanya. Tapi ketika semuanya telah jelas, kau tidak bisa memutuskan untuk memilih siapa diantara aku dan sahabatku. Itulah kenapa dulu aku memutuskan untuk menyerah memperjuangkanmu, aku bukanlah pilihan. Jika kau bingung antara aku dengan orang lain, tolong jangan pilih aku."
"Jadi bagaimana?"
"Aku tidak bisa menerima ini."
"Kenapa? Kenapa begitu? Katamu kau menyukaiku sejak lama? Lagipula itu semua sudah jadi masa lalu. Sudah saatnya bagi kita buat memulai cerita yang baru."
"Awalnya aku juga mengira kalau aku masih memiliki perasaan itu. Tapi ketika kita duduk berdua seperti ini, ngobrol berdua seperti ini, aku menyadari kalau perasaanku padamu, juga sudah jadi masa lalu."

Aku teringat hukum kekekalan energi yang dengan iseng kuubah menjadi hukum kekekalan cinta di sela-sela pelajaran ipa yang bagiku terasa sangat membosankan.
"Cinta itu tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, cinta hanya dapat dipindahkan dari satu hati ke hati yang lain." Hukum itu akhirnya berlaku di hidupku. Tapi di waktu yang tidak tepat.
Hari ini, aku menolak cinta pertamaku. Aku menolak cinta pertamaku hanya karena aku merasa kalau perasaanku telah beralih pada seorang laki-laki yang tak jelas bagaimana perasaannya terhadapku. Aku menolak dia hanya untuk lelaki yang seperti itu. Bodoh. Aku bodoh sekali.
#Mas TI pergi magang jauh ke Jepang.
Pamit pulang duluan ke crushnya soalnya mau liat mas Sebastian pergi di bandara buat yang terakhir kalinya.
Dia liat pas mas Sebastian keluar dari taksi, ngeluarin barang-barang dibantuin sama temen-temen kosnya, tapi dia nggak menghampiri mereka. Dia cuma liat dari suatu tempat di sekitar sana. Di halte, mas Sebastian telepon.
"Lagi dimana?"
"Di jalan mas, kenapa?"
"Bisa nemuin aku sebentar nggak di Bandara? Aku mau berangkat."
"Oh...anu, maaf mas aku nggak bisa."
"..."
"Mas?"
"Kok diem aja?"
"Iya? Iya maaf ini tadi lagi nggak fokus. Kenapa tadi kamu bilang nggak bisa ya?"
"Iya mas, aku nggak bisa."
"Lagi jalan sama gebetanmu ya?" Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan tertawa.
"Cie yang lagi seneng."
"Yaudah kalo nggak sempet kesini. Mas cuma mau ngomong doang kok ke kamu."
"Jangan kebanyakan minum kopi ya. Jangan keseringan minum cola sama minum-minuman bersoda lainnya. Begadang boleh, tapi jangan tiap hari juga. Kuliah yang bener, kurangin bolosannya. Katanya mau nerusin kuliah di Jepang? Jaga diri baik-baik. Kabarin mas kalo ada apa-apa."
"Baru kali ini denger mas Sebastian ngomong banyak. Mas bisa rewel juga ya."
"Kamu ini. Yaudah, gitu aja. Oya, oya satu lagi. Sukses ya, buat hubungannya. Pokoknya apapun yang terjadi nanti, mas doain yang terbaik buat kamu."
"Iya iya, makasih mas. Udah mas nggak perlu kawatir. Udah ada yang jagain aku kok disini. Aku juga udah lumayan bisa ngurus diriku sendiri. Mas yang semangat ya! Ganbatte kudasai!"

BAB 14: Galau

BAB 14: 🍁Galau🍁
Aku menemukannya di sudut  ruang SAT dengan telinga tertutupi headphone. Dia sedang fokus melihat layar monitor sambil menekan-nekan mouse dan keyboard dengan antusias.
Aku berniat menepuk pundaknya untuk memberitahu kalau aku ada disana, tapi aku menarik tanganku kembali sebelum sempat menyentuh bahunya. Aku tidak ingin mengganggu kesenangannya.
Setelah menunggunya cukup lama di bangku sebelahnya-ia bahkan tidak sadar aku duduk di sebelahnya sejak tadi-aku memutuskan untuk pulang saja dan menemuinya kapan-kapan.
"Yay! Aku menaaang!" teriakan itu tak membuat orang-orang di SAT menoleh karena berteriak-teriak seperti itu ketika bermain game di dalam SAT adalah hal yang biasa. Tapi teriakan itu membuat langkahku terhenti di dekat pintu keluar.
Aku menoleh pada sumber suara. Entah hanya kebetulan saja atau apa, laki-laki pemilik sumber suara itu menoleh padaku juga.
"Dek Va?! Dari tadi di SAT juga?  Ngapain?"
"Iya mas. Dari tadi aku di SAT. Nggak ngapa-ngapain. Cuma kepengin ketemu kamu aja." Itu yang ingin kukatakan padanya.
"Iya mas, download drama. Stok filmku buat di tonton di kosan udah abis." Tapi, hanya itu yang bisa kukatakan.
"Sini, temenin mas main game. Mas punya cemilan."
Aku ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Aku tak bisa berada lama-lama didekatnya. Akhir-akhir ini aku tak bisa bersikap biasa saja di depannya. Perasaanku lepas kontrol. Tapi pada akhirnya, aku mendatanginya juga. Aku tidak mau dia merasa kalau sikapku belakangan ini mulai berbeda.
"Mas," panggilku. Ia menoleh, melepas headphone dari kepalanya. "Hn?"
"Mas Sebastian mau pergi magang di tempat yang jauh ya?" Tanyaku. Tidak tahu kenapa aku mendadak sekepo ini tentang kehidupannya.
"Eh, kok tau?"
"Nggak sengaja denger dari temen kosan mas."
"Ooh gitu. Iya, mas dapet tawaran magang di Jepang dari kenalan omnya mas."
"Maaf ya, mas belum sempet cerita, kamu palah udah denger dulu dari orang lain."
"Nggak papa. Mas kapan berangkatnya?"
"Mmm belum tau, mungkin minggu depan atau depannya lagi. Belum jelas kapan. Banyak banget hal yang masih harus mas urus disini." Mendengar penjelasannya, aku hanya mengangguk-angguk.
"Mas minta maaf ya, untuk sementara mas nggak bisa bantuin kamu dulu. Tapi mas janji, mas janji kalau mas udah pulang, mas bakal bantuin kamu lagi. Nanti pas mas pergi, mas bakal minta ke CEO buat nggantiin aku sementara sama temenku."
"Nggak perlu minta maaf kali mas. Aku yang mau minta maaf sama mas karena udah banyak ngerepotin mas selama ini, padahal bayaranku ke mas nggak seberapa."
"Oya mas, sebenernya aku besok mau ngomong sesuatu sama mas. Tapi karena kita udah terlanjur disini, yaudah aku ngomong sekarang aja. Makasih ya mas udah bantu aku banyak hal selama ini. Mulai besok, mas nggak perlu bantuin aku lagi."
"Kenapa? Kamu marah ya sama mas?"
"Nggak kok mas, tapi aku ngerasa aku udah cukup ngerepotin mas selama ini. Aku nggak boleh tergantung sama bantuan mas. Mas punya kehidupan mas sendiri yang perlu mas urusin."
"Tapi mas nggak pernah ngerasa direpotin sama kamu, dek."
"Mas dengerin aku dulu. Mas inget cowok yang pernah aku ceritain dulu? Dia udah janji ke aku kalau dia yang bakal jagain aku mulai sekarang. Mas nggak perlu khawatirin aku lagi."

BAB 13: Baper: Antara Baper dan Laper

😞 Baper: Antara Baper dan Laper πŸ˜”

BAB 12: Reuni: Ajang Temu Kangen atau Temu Pamer?

BAB 12: Reuni: Ajang Temu Kangen atau Temu Pamer?
“Mia, bener kan rumah makannya di daerah deket taman palagan?” Aku tahu suaraku terdengar khawatir.
Aku sedang berada di dalam taksi yang membawaku menuju rumah makan yang menjadi tempat reuni angakatanku semasa SMP. Setelah berputar-putar di daerah sekitar palagan, rumah makan itu masih belum dapat ku temukan juga.  Aku punya phobia takut tersesat. Belum lagi ketika aku kepikiran bagaimana reaksi teman-teman ketika aku bilang aku tak datang membawa seseorang yang sudah kujanjikan. Aku tidak bisa menekan perasaan cemas di hatiku.
“Iya. Tapi nama rumah makannya aku lupa, vy. Kamu udah sampai mana?”tanya Mia dari ujung telepon.
Aku masih mengedarkan pandanganku ke luar kaca yang terkena derai-derai air. Di luar hujan cukup lebat.
”Aku juga lupa. Aku ingetnya cuma pas dikasih tau rumah makannya dipinggiran sawah terus banyak saung-saungnya, bener nggak?” tanyaku sambil menggigit bibir bawahku untuk mengurangi rasa cemas.
“Iya, bener. Eh ini Rizki udah jemput di luar, nanti aku kabarin kalo aku udah tau nama restorannya ya, see ya."
      “Ivy!” teriak sosok yang sepertinya adalah Mia dari depan rumah makan. Ia dan seseorang disampingnya-mungkin Rizki- melambai ke arahku. Aku kelupaan memakai kontak lensa, rasanya mataku buram sekali. Tadi, butuh waktu beberapa saat untuk mengenali perawakan mereka berdua.
Segera setelah turun dari taksi, aku menutupkan jaket ke kepalaku lalu  berlari menghambur ke arah mereka berdua. "Mia! Rizki!"
Setelah ngobrol lumayan lama di depan restoran, Aku, Mia dan Rizki memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman yang lain di dalam restoran dan segera di sambut  Dika, salah satu teman sekelasku yang pernah menjabat sebagai ketua kelas, tapi mengaku dirinya sebagai kepala sekolah dan bercita-cita jadi presiden, langsung mengantarkan kami ke salah satu saung di pinggir sawah yang sedang menampung anak-anak dari kelas kami.
Restoran itu cukup ramai, lampu-lampu minyak yang terpasang disetiap saung menyala redup, menciptakan suasana remang-remang yang damai dan menenangkan, selain suara percakapan yang sengaja dilakukan keras-keras, terdengar alunan lembut musik jaz. Ada banyak tamu yang terlihat dan itu bukan hal yang mengherankan. Ini adalah akhir semester dan acara reuni sudah pasti sedang marak.
"Rizki! Ivy! Mia! Sebelah sini!" Seorang perempuan bertubuh gembul melambai-lambai dengan semangat ke arah kami.
"Mami Luhan! Ya ampun!" Sesampainya didalam saung, aku langsung memeluk Zahra, perempuan gembul yang kupanggil Mami Luhan itu.
"Bunda Sehun apa kabar? Lama banget nggak ngerumpi k-pop bareng. Kangen banget, aigoo." Dia membalas pelukanku begitu erat sampai aku nyaris sesak napas.
"Kabarku biasa aja lah Mam, masih kaya yang kemaren-kemaren." Candaku sambil tertawa.
"Kita-kita nggak disapa nih?" Abdul, dengan gaya ngondeknya yang masih seperti dulu, menyela pembicaraan kami.
"Abdul, Faiz, Aji, hei kalian apa kabar? Long time no see!" Kataku dengan sedikit rasa bersalah karena tidak menyapa mereka. Aku tidak sadar jika mereka berada di sana.
"Ivy, Masih hidup aja lu vy. Nggak pernah ada kabarnya. Kirain..."
"Jahat." Aku meninju bahu Faiz. Kami terkekeh.
"Ya iyalah aku masih hidup. Kirain apaan?" Balasku dengan sebal.
"Ya kirain udah mati...hapenya loh ya hapenya yang mati." Ucap Abdul yang membuat kami teringat saat ada teman yang absen di kelas dulu. Jika guru sedang mengabsen dan seseorang tidak berangkat, guru akan bertanya kenapa dia tidak berangkat. Abdul selalu menjawab mati...hapenya.
Kami mengobrol banyak, bernostalgia, tertawa, ini tidak semembosankan yang aku kira. Mungkin juga karena faktor aku bersama orang-orang yang mengenalku dan mau mengajakku bergabung dengan mereka. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika mereka tidak datang. Mungkin aku akan berbicara dengan tumbuhan lagi seperti saat ospek. Aku juga sedikit lega mengingat fakta bahwa sejak tadi mereka tidak menyinggung sama sekali soal laki-laki di foto dulu. Irene dan Light juga belum terlihat sejak aku datang. Dalam hati aku berharap agar mereka tidak usah datang.
“Wah, pemandangan malam dari sini bagus banget!”  aku bergumam senang ketika melihat keluar saung. Angin malam yang bertiup lembut diantara pepadian, bertiup ke wajahku. Pemandangan malam kota Jogja dari pinggiran sawah ternyata seindah ini.
“Ngomong-ngomong yang dateng banyak juga ya Mam.” kataku pada Zahra. Ia tak segera menimpali karena sedang sibuk membalasi pesan di ponselnya.
"Mam," senggolku padanya.
"Eh? Ya. Iya bentar. Ini balesin suami dulu." katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
“Ah, ya, aku kelupaan sesuatu,” katanya tiba-tiba. Aku dan anak-anak lain menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
“Ada titipan dari Dan nih buat kalian, yah cuma oleh oleh kecil kayak gantungan kunci sih, tunggu sebentar ya gengs. Aku ambil dulu,” kata Zahra sambil bangkit dari tikar lesehan.
“Perlu bantuan nggak? Jangan lama-lama Mam,” sahutku.
"Nggak usah. Nggak berat kok."
Lalu aku kembali mengagumi kerlap-kerlip cahaya lampu kota Jogja dari emperan sini.
Beberapa menit berlalu dan Zahra belum juga kembali.
"Dan emang siapa sih?" Ucap Abdul.
"Kalo nggak salah pacarnya yang kuliah di Columbia bukan sih? Mami cuma pernah cerita sesekali soal LDRan mereka."
"Hah masa sih? Kok bisa mau sama si Gembul? Gembul yang ngayal apa cowoknya yang rada katarak?" Ucap Abdul dengan ketus. Aku hanya mengangkat bahu.
Faiz palah berkomentar, "Abdul nih, sirik aja. Kamu nggak puas apa sama aku aja?"
Kemudian mereka saling bertatapan dan pergi ke pelaminan.
"Punya temen maho semua. Gimana gue mau taken vy." Ucap Ajie yang membuat tawa kami meledak.
"Eh iya, lupa mau nanya dari tadi. Pacarmu mana? Kata Irene kamu udah janji ke dia bakal bawa."
Deg! Seketika aku panik. Apa yang harus ku katakan? Aku ingin jujur, tapi aku malu. Aku ingin bohong. Tapi wajahku kelihatan sekali jika aku berkata bohong.
"Oh iya, untung Abdul ngingetin. Kita juga hampir lupa."
Aku berpikir lama. Tapi akhirnya aku memutuskan, aku ingin jujur saja. Mumpung hanya jujur pada mereka. Mumpung tidak ada Irene dan Light disini.
Aku mendesah dan memandang kesekeliling saung.
"Temen-temen, sebenernya...dia nggak ada." Ketika aku sedang berusaha menjelaskan kepada mereka, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku berbalik mengikuti sumber suara dan melihat Zahra datang bersama perempuan manis dengan postur badan yang bagus dan tinggi, sedang melambai ke arah kami sambil tersenyum lebar.
Perasaanku mendadak tidak enak begitu melihat perempuan itu. Perasaanku pun bertambah berat seiring langkah yang di ambil perempuan itu untuk mendekati saung kami.
“Hey guys, apa kabar? Ivy! Aku nggak nyangka kamu beneran dateng,” sapa wanita itu ramah  pada kami. Tapi bagi telingaku, keramahan itu terdengar seperti dibuat-buat, sama seperti senyumnya.
Aku hanya tersenyum samar. ”Apa kabar, Irene? Lama nggak ketemu.”
Irene mengibaskan rambut panjangnya dan berkata, ”Baik. Kalian udah lama? Maaf ya, kita telat banget datengnya, Light ada urusan. Sebentar lagi juga ke sini.”
Tanpa menunggu anak-anak yang lain mengatakan sesuatu, Irene meneruskan, ”Kebetulan aku ketemu sama kamu, vy. Ada yang ingin aku omongin.” Tanganku telah diseret Irene ke tempat yang agak jauh dari saung kami. Selama berdua saja dengan Irene, aku diam saja, berdiri bergeming, dan menunggu kata-kata selanjutnya.
Irene menatapku dalam-dalam, ”Aku seneng kita ketemu lagi disini, tapi aku agak khawatir sama Light.”
Alisku terangkat kaget. Apa sih yang sedang dia bicarakan?
“Aku orangnya nggak bisa basa-basi, jadi aku mau bicara langsung aja. Aku ngerasa kalo Light mulai peduli lagi ke kamu. Bahkan akhir-akhir ini dia sering nyuekin aku. Padahal harusnya kan dia nggak perlu kayak gitu kalau dia ingat dulu nggak nanggepin surat cintamu dan palah jadian sama aku, ya kan?" Dia menatapku serius, tapi aku hanya buang muka. "Bagaimanapun juga, hubungan kalian udah lama berakhir. Kamu nggak seharusnya muncul di antara kami lagi.”
Aku tersenyum pahit. ”Irene, aku...”
“Oh, Ivy!”
Aku menoleh dan melihat Light menghampiri kami. Aku mendesah dan berpikir kenapa kedua orang itu harus datang ke tempat ini ketika reuni sudah hampir selesai? Padahal aku tak perlu menemui mereka seandainya mereka tak jadi datang.
“Kamu dateng juga?” tanya Light sambil menatapku. Wajahnya terlihat sumringah. Aku merasa kikuk diamati seperti itu, apalagi Irene juga sedang menatapku tajam.
“Aku yang minta. Biar kita bisa ketemu lagi,” sela Irene sambil menyelipkan tangannya ke lengan Light. ”Iya, kan, Ivy?” Aku meringis, ”Iya. Nggak enak juga ke anak-anak, nggak pernah dateng reuni.”
“Kamu dateng sama siapa?” tanya Light lagi dan aku bisa melihat air muka Irene langsung berubah.”
“Sendirian aja? Gimana kalau kita makan bertiga?” tanya Light meskipun belum sempat dijawab olehku.
Ya Tuhan. Apakah Light sungguh-sungguh berpikir aku sudah sebegitu putus asanya sampai memutuskan untuk makan bertiga dengan mereka? Yang ada hanya makan hati.
Irene menarik lengan Light dan cepat-cepat menyela, ”Ya nggak mungkin lah, Juniel bilang dia mau datang sama gandengannya. Nanti gandengannya malah ngerasa nggak enak kalau diajak gabung karena nggak kenal sama kita.”
Aku ingin tertawa keras-keras melihat sikap mantan teman sekelasnya yang terkesan seperti balita yang tidak mau melepaskan mainan kesukaannya. Aku ingat sekali bagaimana dia bilang kalau Light bukan tipenya sama sekali dan meremehkan laki-laki yang kusukai. Tapi kemudian dia palah menjilat kata-katanya sendiri dan menikungku dari belakang. Aku tidak percaya dia bisa setega itu padaku. Dulu, bagiku, dia adalah teman terbaikku.
Oh ya, kapan aku pernah bilang ke Irene kalau aku mau membawa gandenganku? Aku tak pernah berkata ya di telepon waktu itu. Awalnya aku memang ingin meminta Mas Sebastian untuk menemaniku datang reuni. Tapi dia sedang sibuk dan aku tidak ingin merepotkannya terus-terusan. Jadi aku datang sendirian. Tanpa gandengan.
"Nggak usah, Light. Aku dateng sendiri, tapi nggak papa kok, aku udah makan sama temen-temen tadi." Kataku canggung dengan menatap mata Light sesekali. Sepertinya Light dapat merasakan kecanggunganku.
"Kok dateng sendiri sih? Gandengannya mana?"
"Nggak...ada."
"Maksudmu...kamu nggak ada gandengan?" Aku mengangguk.
"Terus yang kemarin itu...bohongan?"
Ketika aku akan membuka suara, sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang.
“Acaranya udah selesai?”
Aku dan dua orang yang berdiri dihadapanku serentak menoleh ke arah sumber suara. Sebastian menghampiriku sambil tersenyum lebar dan dengan kedua tangan dibelakang punggung. Aku mendengar sentakan napas Irene.
Ada sedikit rasa puas dihatiku ketika melihat reaksi Irene waktu Mas Sebastian muncul.
“Aku telat dateng ya?” tanya Mas Sebastian sekali lagi sambil menatap lurus ke arahku, mengabaikan dua orang yang ada di dekatnya.
“Acaranya udah mau selese sih. Kok mas nyusulin ke sini? Bukannya lagi ngurusin acara?” sahutku agak linglung.
“Iya, tapi inget kamu pergi sendirian aku jadi kepikiran. Aku udah izin ke ketua panitia.” papar Sebastian.
"Oh iya, nih ambil."
Aku tercengang melihat seikat  bunga edelweis yang di sodorkan mas Sebastian ke arahku.
“Buat aku?” tanyaku memastikan.
“Emangnya buat siapa lagi, ibu kosku?”
Aku menerima serumpun bunga edelweis itu dengan malu-malu lalu meninju  bahu Mas Sebastian dengan pelan, ”Aku nggak nyangka mas Sebastian bakal nyusulin aku ke sini,”
Setelah aku menerima bunga yang disodorkan Mas Sebastian, laki-laki itu seakan baru menyadari kehadiran dua orang lain yang melongo memperhatikan kami berdua.
“Oh, maaf. Aku nggak menyadari keberadaan kalian, Halo, kalian temen-temen smpnya Ivy, ya? Kenalin, Sebastian.”
Aku melihat mata Irene berkilat-kilat, tatapannya tertuju lekat pada Mas Sebastian, ” Aku Irene dan ini pacarku Light. Mas cowok yang di foto itu, ya?” tanyanya bersemangat.
“Foto?" Mas Sebastian menoleh padaku. Aku hanya angkat bahu.
 "Oh iya, foto yang itu. Haha jadi malu.” Mas Sebastian menyenggolku dengan sikunya sambil tertawa awkward.
“Malam yang indah ya dek.” Ia mengangkat sebelah tangannya dan merangkul bahuku. Aku terkesiap.
Mataku menatap Mas Sebastian dengan pandangan terkejut, kemudian mataku berganti memandang dua orang dihadapanku yang juga sedang menatap kami bingung.
“Iya kan, mantan temen-temen Ivy?” Mas Sebastian melanjutkan dengan nada ramah seperti tadi. ”Makasih udah mau ngajak Ivy ngobrol, maaf aku mengganggu acara kalian. Senang berjumpa dengan kalian.”
Selesai berkata begitu, dengan masih merangkul bahuku, Mas Sebastian menuntunku ke tengah ruangan, memilih saung yang kuinginkan.
Aku mengajaknya bergabung ke saung awalku bersama Zahra, Abdul dan teman-teman yang lainnya. Mas Sebastian orang yang mudah berbaur dan menyenangkan. Tidak sulit baginya untuk akrab dengan teman-temanku. Satu-satunya orang yang agak canggung disitu justru hanya aku.
“Makasih ya buat bunganya,” kataku ketika kami berjalan keluar dari restoran, mencari halte terdekat berdua saja. Kami akan pergi ke stasiun Tugu dan pulang ke Surakarta dengan kereta malam ini juga. Acara reuni sudah selesai dan Zahra bersama Abdul cs sudah pulang duluan sekitar seperempat jam yang lalu.
Aku memandang bunga pemberian Mas Sebastian dengan gembira. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang memberiku bunga. Selama ini, karena aku tomboy, anak laki-laki temanku jika bertemu denganku hanya memberi kepalan tinju.
“ Kamu suka nggak?”
“Suka banget. Aku suka edelweis,” Aku menatap Mas Sebastian sambil tersenyum cerah, ”Berapa banyak klien yang  kamu perlakukan kayak gini?”
Laki-laki itu hanya meringis, ”Menurutmu?”
“Laki-laki yang tadi itu yang dulu pernah kamu ceritain?” tanya Mas Sebastian dengan hati-hati.
Aku mendesah, ”Ya, dan wanita yang bersama dia itu dulu teman dekatku yang sekarang menjadi pacarnya. Kita bertiga ada di kelas yang sama waktu kelas satu. Pas naik kelas dua, mereka ada di kelas yang sama sementara aku beda."
Mas Sebastian menatapku, ”Kamu sedih ya?”
Aku tertawa, ”Nggak lah. Ngapain?"
Mas Sebastian masih terlihat kurang yakin.
“Nggak papa kok beneran,” kataku menenangkan, ”Makasih ya, udah nyusulin aku ke sini.”
Mas Sebastian tersenyum, "Aku bukan nyusulin kamu. Aku nyusul gaji lesku yang belum kamu bayar minggu lalu."

BAB 11: Friendsh*it: Teman Makan Teman

BAB 11: Friendsh*it: Teman Makan Teman
"Rin, liat deh, ini proposal-proposal yang diajuin sama mas Sebastian. Kayaknya aku agak cocok sama yang ini nih, menurutmu gimana?"
"Ah bagusan kak Sebastian menurutku. Kenapa sih, kamu nggak sama kak Sebastian aja? Dia kan cakep, mirip Song Joong Ki, tinggi, keren, pinter, pengusaha muda lagi!"
"Ya enggak lah Rin, dia tuh udah kaya kakakku sendiri tau. Aku lagi nanya serius nih. Gimana? Gimana menurutmu sama pilihanku?"
Rin menaik stopmap biru yang kusisihkan dari stopmap-stopmap lain. Lalu mempelajari profilnya sebentar. Saat melihat foto laki-laki dalam stopmap itu, ia tampak berpikir, lalu mendekatkan kepalanha untuk semakin memfokuskan penglihatannya.
"Kayak kenal sama nih orang." Dahi Rin berkerut. Dia tampak berpikir lagi.
"Seriusan?"
"Pas diliat-liat mirip siapa ya? Kayaknya mirip temen SMAku deh, si Erza. Kalo yang ini namanya...Erza juga! Wah dia temen SMAku vy."
"Masa sih Rin? Kamu kenal dong?"
"Ya lumayan. Nggak kenal-kenal banget sih, cuma pernah sekelas aja sama dia. Setauku sih orangnya pendiam. Baik. Rajin. Dermawan, sering jadi bahan contekan temen-temen pas ulangan. Orangnya juga sederhana dan sopan."
"Wah, kayaknya dia cowok yang baik ya."
Aku dan Erza berkenalan di taman bermain. Kami pergi bertiga bersama Rin. Karena ada Rin, kami jadi tak canggung dan hari itu menyenangkan sekali.
Aku mematut diri di depan kaca, memilih baju terbaik yang kupunya. Beberapa menit yang lalu Erza menelpon, mengajakku makan malam di suatu restoran di dekat balai kota.
Ping!!!
Aku membuka pesan dari Erza.
Aku udah di depan.
Cepat-cepat aku mengambil tas di atas meja, keluar kamar dan menguncinya lalu pergi menuju Erza di depan gerbang.
"Udah lama?" Tanyaku basa basi.
"Baru aja. Yuk." Aku mengangguk lalu menaiki boncengan motornya.
Kami berhenti di suatu restoran klasik yang mewah di tengah kota.
Ketika kami berada di dalam restoran, aku bisa melihat Mas Sebastian duduk di pojok ruangan sambil membolak-balik daftar menu. Ia menoleh padaku sambil memamerkan smirk di bibirnya. Aku dapat membaca gerak bibirnya, ia berkata 'Fighting!' padaku. Aku balas tersenyum padanya sambil memberi tanda-kau yang terbaik- dengan tanganku di bawah meja.
Setelah kami memesan, Erza mengajakku bicara banyak. Dia laki-laki yang baik, persis seperti yang Rin katakan. Nanti aku harus berterimakasih pada Rin karena telah memberi tahuku banyak hal untuk diobrolkan dengan Erza.
"Oh iya, udah berapa lama temenan sama Rin?"
"Em...sejak ospek. Dia satu-satunya temen deketku di kampus."
"Ooh gitu." Ia mengangguk-angguk.
"Sebenernya aku ngajak kamu ke sini pengen ngomong sesuatu."
"Oya? Apa?"
"Sebentar." Ia mengambil sesuatu dari saku celananya. Meletakannya diatas meja lalu membukanya. Sebuah kalung dengan permata yang indah.
"Menurutmu gimana?"
"Bagus banget."
"Kamu suka?" Aku mengangguk.
"Kalo kamu suka kira-kira Rin suka nggak ya?"
"Rin?"
"Iya. Aku pengen minta pendapatmu. Kamu kan temen baiknya Rin. Kalo misalnya aku nyatain perasaanku ke dia sambil ngasih ini, menurutmu gimana?"
Aku tertohok. Kalung itu bukan untukku. Itu untuk Rin.
Aku keluar dari restoran. Mas Sebastian telah menungguku di luar sana.
"Gimana? Sukses nggak?"
Aku duduk di boncengan, bahunya basah oleh air mataku.
Sore sore sekali ketika aku pulang kuliah Mas Sebastian mengajakku pergi dusbin, jalan-jalan, dan ke pantai. Disana aku menangis. Dia mengajariku satu hal bagaimana cara melupakan seseorang.
"Jika kamu benci dengan seseorang atau ingin melupakan seseorang, tuliskan namanya diatas pasir. Air ombak yang datang akan menghapuskannya. Jangan tulis diatas batu, karena kau aksn susah untuk melepaskan perasaan itu."

BAB 10: Grabmate: How I meet Your mate

BAB 10: Grabmate: How I meet Your mate
"Kamu mau ngepel lantai depan pintu kamarmu berapa kali?" tegur salah satu tetangga kamarku yang sedang duduk di kursi di belakang meja belajar yang menghadap ke kaca. Tak seperti pintu kamarku yang selalu tertutup, pintu kamarnya selalu dibukanya lebar-lebar. Ia sendiri sedang mengerjakan tugas rancang bangunan sambil memutar musik klasik keras-keras dari dalam kamarnya.
"Hah? Apa? Kenapa?" jawabku setelah beberapa lama. Aku sedang kepikiran hal lain dan tidak fokus mengepel lantai di depanku.
"Ya ampun! Kamu dari tadi lagi mikirin apa sih? Ngepel kok sambil bengong gitu?"
"Mikirin kapan Suho dateng ke sini dan membawaku lari dari kenyataan hidup yang pahit ini. Adek udah lelah bang." Gurauku.
"Yek! Bagun woy bangun!" Balasnya sambil tertawa. Kami berdua terkekeh.
Setelah membilas kain pel dan menempatkannya di gantungan kayu di dekat tempat cucian, aku bergegas masuk ke kamar. Hanya untuk meneruskan acara mondar-mandirku di dalam kamar.
Hari ini aku sedang dipusingkan dengan datangnya paket berisi buku tahunan jaman SMP yang-setelah sekian lama direncanakan pembuatannya-baru terealisasi kemarin-kemarin.
Sebenarnya masalah yang sesungguhnya bukan ada pada buku tahunan itu. Tapi pada surat undangan reuni yang disertakan bersamanya. Jika ingatanku benar, ini seharusnya menjadi reuni terakhir yang akan di selenggarakan angkatanku, sebelum banyak teman kami yang pergi merantau keluar pulau Jawa. Reuni-reuni sebelumnya, undangan memang mendarat di tanganku dengan selamat, tapi aku tak pernah datang dan teman-temanku mengira kalau itu semua gara-gara surat undangan tak sampai ke alamatku.
Reuni kali ini, aku juga tak berminat sama sekali untuk menginjakkan kaki di acara itu. Tapi gara-gara hal bodoh itu, mau tidak mau aku harus datang ke acara itu nanti. Kalau aku tidak ingin dijemput ramai-ramai oleh mereka di tempat kosku.
Aku tidak suka reuni. Aku pernah datang reuni SMK sekali dan aku merasa kapok. Di mataku, reuni bukan ajang temu kangen dengan teman lama. Tapi lebih kepada ajang temu pamer dihadapan teman lama.
Perhatikan saja, apa yang lebih jadi bahasan di setiap kali reunian? Pasti tentang kesibukan sekarang.
"Kuliah di universitas mana? Jurusan apa?"
"Kerja apa? Sebulannya berapa?"
"Dapet IP berapa?"
"Gandengannya mana"
Bla bla bla.
Sedangkan soal mengenang betapa indahnya masa-masa saat kita masih bersama hanya diobrolkan seperlunya saja. Sisanya biasanya hanyalah sesi berpamer-pamer ria. Itulah kenapa aku tak pernah suka datang reuni. Tapi reuni kali ini, aku sudah tidak bisa beralasan apa-apa lagi.
Ah, semuanya gara-gara postingan bodoh itu!
Hari itu April fool. Aku dan Rin ingin mengelabuhi teman-teman sejomblo setanah airku di kampus dengan memposting fotoku bersama seseorang yang di ambil dari belakang. Di foto itu aku berdiri bersebelahan dengan laki-laki misterius yang mengenakan topi.
Dari belakang, dia memang tampak seperti laki-laki. Padahal, dia hanya Rin yang baru saja potong rambut gaya laki-laki dan memakai topi. Dalam foto itu, Rin yang tampak seperti laki-laki merangkulkan tangannya ke bahuku.
"Yakin banget deh, anak-anak baper squad pasti ketipu." Rin tertawa jahil disebelahku waktu itu.
"Berani taruhan?" Balasku dengan smirk kecil di bibir.
Di atasnya ku beri caption, "Finally I found you." Ku posting foto itu.
Paginya, tugas dan deadline mendadak bertumpuk di depan hidungku. Selama beberapa hari, aku tak sempat membuka facebook, begitu pula teman-teman Baper Squad-ku.
Saat aku sedang punya waktu senggang, aku teringat lagi dengan postingan terakhirku. Aku cepat-cepat membuka facebook untuk menghapus foto itu. Tapi tebak apa yang terjadi? Kolom komentar di bawah foto itu dipenuhi oleh teman-teman smpku!
Setelah membaca kometar-komentar mereka, aku mengacak-acak rambutku. Ya Tuhan, aku malu sekali! Mereka percaya kalau orang di foto itu adalah pacar baruku.
Setelah hari itu, aku membiarkan foto itu dan tak membalas satupun komentar mereka.
Tapi saat ada nomor asing menelpon-yang kupikir adalah ayahku yang sedang pinjam ponsel orang-, ternyata dia Irene.
"Selamat ya," ucapnya ditelepon.
"Untuk?" Jawabku malas.
"Apa lagi? Pacar barumu lah." Aku terperanjat. Teringat kebohongan bodoh itu.
"Light pasti seneng deh, kalo tau."
Aku tak menjawab. Mengungkit-ungkit Light. Apa-apaan dia ini.
"Diliat dari belakang aja ganteng, ya. Apalagi dari depan. Jadi nggak sabar pengen liat langsung."
"Biasa aja." Ucapku dengan cuek.
"Besok reuni terakhir, lho. Sebelum pada nggak bisa dateng reuni lagi. Kamu harus dateng."
"Aku...nggak-"
" Pokoknya semuanya harus dateng. Siapapun yang nggak dateng, bakal kita samperin dan jemput rame-rame entar. Dan pacar barumu itu. Pokoknya harus dikenalin ke kita. Wajib. Kudu. Oke?"
"Yah, liat aja entar."
Sial!!! Kenapa aku palah sok keren dan bilang liat-aja-entar? Harusnya dulu aku bilang, "Nggak kok. Aku nggak punya pacar. Itu cuma becandaan. Aku masih jomblo dan hidupku masih stagnan. Belum ada perubahan."
Ngomong kaya gitu apa susahnya sih? Hah! Semuanya gara-gara aku terlalu gengsi mengatakan itu pada orang yang sudah menikungku. Aku hanya tidak ingin dia merasa aku masih belum bisa move on dari laki-laki yang sedang dipacarinya itu. Aku hanya ingin menunjukkan dihadapannya kalau tanpa laki-laki itupun, hidupku masih baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi? Ah, aku bisa gila!

BAB 9: Organisasi : Ligkaran Setan

BAB 9: Organisasi : Ligkaran Setan
     Rin itu tipe mahasiswi yang disayang dosen. Aktif terlibat di kegiatan dalam kelas, aktif ikut kepanitiaan di acara-acara besar, aktif dalam kepengurusan organisasi, tapi nggak pernah bolos dan tetap berprestasi. Tapi mahasiswi seperti Rin hanya ada satu dua di kelasku. Sedangkan aku, aku mahasiswi yang tak bisa diharapkan. Pasif di kelas, ngantukan. Nggak mudengan. Ikut organisasi cuma satu, itu pun cuma nongol sekali dua kali.
Aku adalah mahasiswi kuper. Kuliah perpus kuliah perpus. Setelah pulang kuliah aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke perpus. Tujuan utama: wifian. Lalu selanjutnya adalah untuk tidur. Trust me, perpustakaan adalah tempat ternyaman di kampus untuk tidur. Yang terakhir, baru : baca buku.
Di Sastra Alay, kau bisa menemukan berbagai macam tipe maniak. Di sana, kau bisa menemukan perempuan yang begitu menggilai buku dan film. Sebelum aku ingin membaca buku, orang yang kudatangi pertama kali untuk kumintai spoiler pasti dia. Semua buku fiksi romance, sejarah, dan sains fiction yang pernah kutanyakan padanya tidak ada yang belum pernah dia baca, meski halamannya setebal pengganjal pintu. Urusan film juga tidak ada bedanya. Entah dia secretly penjaga warnet atau apa, tapi sepertinya film apapun yang aku dan anak-anak lain butuhkan, dia punya. Jangan-jangan sebenarnya dia palah admin situs penyedia film gratisan di internet.
Ada juga anak perempuan yang sehari-harinya tak pernah libur bermain dota dan game-game lainnya. Dia sering datang terlambat ke kelas dengan kantung hitam yang besar di bawah mata. Tapi anehnya, IPnya tak pernah dibawah tiga. Aku penasaran, apa rahasianya.
Ada anak perempuan yang sepertinya lebih cocok berada di jurusan yang menangani style fashion palah tersesat di Sastra Alay. Apapun baju yang kupakai, ada saja yang dikomentarinya.
Waktu aku ngampus memakai celana army dan jersey hitam garis-garis, dia komentar, "Mau kuliah apa mau jogging?"
Waktu aku pakai atasan-bawahan hitam-hitam, dia komentar, "Mau ke kelas apa mau ke pemakaman?"
Pas aku pake atasan batik dan bawahan batik, dia komentar. "Jangan pake pakaian kaya gitu lagi. Udah atasnya batik, bawahnya batik, norak tau."
Dia juga selalu komentar kalau aku itu fashion terrorist, gara-gara nggak bisa mix and match-in warna baju yang bakal dipake.
"Atasannya putih, roknya ungu, eh kaos kakinya item. Enggak banget."
"Biarin. Kan yang make baju aku, kok yang repot kamu?"
"Nggak enak diliat mata tau."
"Liat yang lain kan bisa. Yang nyuruh liat aku siapa?"
Pas aku ganti pake rok berwarna hijau bercorak hitam, dia masih komentar, "Itu pake rok apa pake sarung."
Biasanya aku diam dan tertawa saja. Tapi lama-lama gatel juga rasanya.
"Itu mulut apa radio? Siaran mulu dari tadi."
Tapi hubungan kita nggak seburuk itu kalau sudah terlepas dari masalah fashion.
Ada juga anak yang kuliahnya bukan di kelas, tapi di organisasi.

BAB 8: IPK: Mawapres

BAB 8: IPK: Mawapres
"Ini kartu hasil studi apa bungkus vitamin?! Kok dari atas sampe bawah hurufnya C semua?!" Aku mengacak rambutku frustasi setelah login di siakad untuk menilik laporan hasil belajar selama satu semester ini. Lagi-lagi IP yang kudapat hanya segini. Jangankan cumlaude, 3 saja susah digapai. Sesusah menggapai kasih tak sampai.
Semuanya sangat berbeda dengan kartu hasil studi milik Rin. Ketika IP Rin Kumlaut, IPku ke laut.
Aku tak bisa menemukan satu huruf C pun di KHSnya. Huruf B saja hanya satu dua. Dengan nilai seperti itu Rin sudah selangkah lebih dekat dengan impiannya untuk melanjutkan studi di Australia. Sementara aku? Impianku melanjutkan ke Jepang semakin menjauh dari jangkauanku.
Apa yang salah dengan studiku selama ini? Aku jarang bolos kuliah, jarang telat masuk kelas, selalu mendengarkan, membuat catatan selama perkuliahan, dan selalu duduk di barisan depan. Tapi IP yang ku dapatkan selalu jauh dari harapan. Apanya yang salah? Apa aku salah jurusan? Kalaupun aku ingin pindah jurusan, aku tidak tahu harus pindah ke jurusan yang seperti apa agar aku merasa cocok selama perkuliahan.
Aku memilih Sastra Alay karena dua hal, aku berasumsi kalau passionku ada disini. Kedua, karena aku tak punya keahlian. Jadi, sejeblok apapun IP yang aku dapatkan, aku tak punya pilihan lain selain bertahan.
Di kampus, gara-gara selalu duduk di barisan paling depan, aku sering dikira mahasiswi teladan. Mereka sering bilang, "Rajin banget deh, nggak pernah nggak duduk di depan." Padahal aku duduk didepan karena suatu alasan. Udah duduk di barisan paling depan aja aku masih nggak ngerti sama apa yang diomongin dosen, apalagi kalo aku duduk di belakang?
Teman sesama penghuni barisan depan memang terkenal anak-anak pintar. Tapi setiap kali aku minta bantuan pada mereka untuk memberikan penjelasan karena aku tidak mengerti dengan materi yang baru disampaikan, mereka selalu bilang, "Wah, gimana ya? Aku juga nggak terlalu paham, sama aja kaya kamu. Jadi nggak bisa bantuin, maaf ya."
Okelah kalo emang kenyataannya begitu sih nggak papa. Tapi selalu aja ada anak yang bilang begitu tapi ketika dikasih kuis, nilainya paling tinggi. Makasih lho ya.
Selain rajin duduk di depan, selama kuliah aku juga belum pernah titip absen sekalipun. Kadang aku iri sama orang yang bisa nitip absen ke temennya lalu bisa leha-leha seharian di kamar cuma buat nerusin nonton drama.
"Aku lumayan banyak nyekip kelas semester ini. Palah lebih banyak TAnya dari pada tanda tangan sendiri." Curhat temanku dari beda jurusan waktu kita sedang jajan di emperan sehabis jogging pagi.
"Aku belum pernah titip absen satupun." Keluhku padanya. Dia palah menepuk pundakku keras seraya berkata, "Widih, hebat! Mahasiswi teladan."
Mahasiswi teladan apanya. Belum tau dia. Sebenernya aku kepingin banget ngerasain rasanya titip absen sekali aja. Tapi aku nggak punya temen yang bisa dititipin absen. Mereka semua orang-orang lurus dan lugu.
Mereka selalu bilang, "Ah nggak mau ah, takut kalo ketauan. Nggak usah bolos deh, mending masuk aja."
"Duh, aku nggak berani. Aku nggak pinter malsuin tanda tangan juga. Maaf ya."
Ya, itulah susahnya jadi satu-satunya orang dengan tipe pembangkang diantara orang-orang yang terlalu baik-baik dan taat peraturan.
"Habis ini mau ke mana?" Rin bertanya padaku selagi ia mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan dan memindahkan beberapa potong es batu di gelasnya ke es teh milikku. Dia tidak suka es yang terlalu dingin.
Aku mengambil pesanan dari atas nampan yang baru saja dihantarkan oleh ibu kantin.
"Pulang ke kosan aja lah. Kenapa emang?"
"Kan ada sosialisasi Mawapres. Kamu nggak mau ikut? Aku sih ikut."
"Nggak lah, ngapain. Aku udah jadi mawapres." Ucapku tak bersemangat sersya memotong-motong. steak ayam dihadapanku yang masih panas.
"Hah?"
"Mawapres Rin, Mahasiswa ipk ngepres." Terangku padanya.
Rin menoyor kepalaku. "Ivy ini terbuat dari apa sih. Jadi orang kok pesimisan banget. Heran deh." Rin mencibir. Sementara aku hanya meneruskan makan.
"Kamu nggak kepikiran buat les aja gitu vy?"
"Ya pengen Rin, tapi aku pengen lesnya yang waktunya fleksibel."
"Kenapa nggak nyari tutor di aplikasi SemuaGuru aja vy? Kayaknya nanti waktu lesnya bisa custom sendiri. Bisa janjian dulu gitu sama tutornya."
"Apaan sih tuh? Bagus nggak? Jelasin, jelasin."
"Itu aplikasi online buat jadi tutor atau nyari tutor. Tetangga fakultas lho, yang bikin. Temenku anak MIPA udah nyoba. Yah, lumayan bikin nilainya naik sih katanya. Tapi kudu pinter-pinter milih tutor juga sih."
"Oh gitu. Kayaknya bagus deh kedengarannya. Menurutmu aku perlu nyoba nggak? Tapi aku nggak ngerti cara milih tutor yang bagus gimana?"
"Menurutku sih kamu harus nyoba, vy. Siapa tau cocok. Soal nyari tutor gampang lah, nanti aku tanyain ke temenku yang udah berpengalaman."
"Oke oke love you Rin-chan!"
"Love doang nih? Nggak pengen ngasih apa gitu?"
"Hem yadeh yadeh, kali ini makanmu aku yang bayar."
     Di luar, hujan hampir turun. Langit telah pekat sekali. Aku sedang di perpustakaan lantai lima, duduk di kursi dekat kaca jendela, menyenderkan kepalaku di atas meja sambil menatap langit mendung di luar sana. Sudah hampir setengah tiga, tapi Rin belum datang juga. Hari ini Rin akan mengenalkanku pada tutor pilihan temannya.
Aku mendesah panjang. Ponselku mati. Power bankku rusak dan aku lupa membawa charger. Kuputuskan untuk berjalan menuju rak-rak buku, mencari sesuatu yang mungkin akan menarik minatku untuk membaca.
Aku mengamati judul buku satu persatu, saat aku menemukan judul yang menarik minatku, aku menjulurkan tanganku, berniat mengambilnya, tapi disaat yang sama, seseorang ingin mengambil buku itu juga.
"Eh?" kataku ketika buku itu telah diambil orang lain. Aku menoleh pada orang itu. Ia juga.
"Oh Ivy. Hai. Mau ambil buku ini juga?"
"Eh mas Sebastian. Iya sih, tapi kayaknya mas lebih butuh deh, ambil aja mas."
"Oh gitu. Oke, makasih ya." Aku mengangguk.
"Nugas mas?"
"Lagi nunggu temen sebenernya, tapi belom dateng juga. Daripada nggak ngapa-ngapain mending nyicil nugas. Kamu sendiri?"
"Sama. Nunggu temen juga." Giliran Mas Sebastian yang mengangguk-angguk paham.
"Ivy, sori lama. Tadi ada urusan mendadak." Aku dan mas Sebastian menoleh bersamaan pada seseorang yang baru saja datang. Rin terengah-engah, mengatur napasnya perlahan.
"Iya Rin nggak papa. Maaf batreku abis. Terus tutornya mana? Kok kamu dateng sendirian?"
"Kamu belum ketemu? Katanya udah di perpus. Namanya Sebastian kalo nggak salah. Aku nggak tau yang kayak gimana orangnya. Bentar aku hubungin dulu."
"Maaf? Kamu Airin temannya Mitha bukan ya? Aku Sebastian."
"Iya bener, aku Airin temennya Mitha yang minta dicariin tutor buat temenku, Ivy."
"Owalah, jadi tutorku mas Sebastian?"
"Eh kalian udah saling kenal? Baru aja tadi aku mau nanya cowok ini siapa."
"Ini loh mas-mas tukang ojek baik hati yang aku bilang waktu itu."
"Oh ini. Salam kenal kak."
Airin dan mas Sebastian bersalaman. Kami bertiga memilih tempat duduk yang nyaman lalu mulai membicarakan kontrak kerja.
"Eh maaf nih, kalian berdua aku tinggal dulu ya, ada rapat hmj." Setelah berpamit padaku, Rin bangkit, dan berjalan ke pintu keluar sambil melambai pada kami.
Aku membalas lambaiannya sampai ia menghilang dibalik pintu.
"Kita mulai pertemuan perdana kita sekarang?" Tanya mas Sebastian sambil membolak-balik halaman buku grammar milikku. Aku mengangguk.
Aku memijit-mijit pelipisku dengan tanganku. Kepalaku rasanya sakit. Nilai Uji Kompetesiku kemarin nyaris D. Bagaimana dengan hari ini? Aku tidak yakin bisa mengerjakannya nanti di dalam. Memang sih, aku sudah les pada tutorku beberapa minggu sambil memperbaiki cara belajarku pelan-pelan. Aku juga sudah baca-baca sedikit. Tapi aku masih tidak pede juga.
Ketika kertas ujian dibagikan, aku panas dingin. Kalau aku dapat nilai jelek lagi kali ini, aku pasti dapat D.
Ketika aku menerima kertas soal itu. Aku menatap pertanyaannya sekilas dan aku kaget sekali. Biasanya aku tak pernah yakin harus menuliskan apa di lembar jawabku , tapi kali ini aku mampu menjawab setiap pertanyaan dengan yakin. Aku tahu semua jawaban soal ini!

BAB 7: Notice me, Senpai!

BAB 7: Notice me, Senpai!
     Setelah mata kuliah Sejarah Kesusasteraan Alay selesai, aku menarik tangan Rin dengan gesit, cepat-cepat keluar ruangan dan bergegas menuju tempat lounge di pojokan koridor, tempat yang biasa digunakan orang-orang untuk sekedar nongkrong ketika kelas kosong, menunggu seseorang, membeli camilan pengganjal perut, atau hanya untuk wifian.
"Kenapa buru-buru banget sih?" Keluh Rin yang harus berlari-lari kecil di belakangku karena tangannya ditarik olehku.
"Aku udah laper tingkat nasional."
Sejak ospek selesai, setiap kali menunggu mata kuliah selanjutnya dimulai, aku selalu mengajak Rin duduk-duduk sebentar di tempat lounge. Alasan yang kukatakan pada Rin sih, karena aku lapar, tapi alasan sebenarnya adalah...aku ingin melihat Senpai.
Hanya dari tempat lounge aku bisa sering melihat senpai ketika sedang lewat, yah meskipun hanya beberapa saat. Sejak meminta tanda tangan saat ospek waktu itu, aku tak pernah punya kesempatan untuk bisa ngobrol lagi dengannya. Sejak hari itu, dia sering muncul tiba-tiba dipikiranku. Untuk beberapa lama, aku baru menyadari kalau sebelum aku bertemu dengan dia sebagai kohai dan senpai, aku sudah sering melihatnya menjadi cosplayer di festival-festival jejepangan yang kudatangi. Aku juga baru ingat kalau di suatu festival, aku pernah melihat dia menjadi gitaris di salah satu band indie yang bergenre perpaduan antara rock dan musik jawa tetapi mengusung konsep ala visual kei.
Kadang-kadang ada hari dimana aku tidak bisa melihat Senpai sama sekali. Biasanya Senpai sering berjalan dari gedung 1 melewati koridor sekitar tempat lounge menuju kantor untuk mengambil kunci kelas di jam-jam pergantian mata kuliah seperti sekarang. Meski sudah beberapa bulan berlalu, setiap kali dia berjalan di sekitarku, mata kami tak pernah bertemu. Tapi kalaupun dia balik menatapku, sepertinya dia juga takkan ingat padaku. Aku sadar aku bukan satu-satunya adik angakatan yang meminta tanda tangan padanya. Ada banyak temanku yang lainnya yang melakukannya juga.
"HAH?! Mas-mas kakak tingkat yang mirip vokalis Kangen Band itu?! KAMU SUKA SAMA DIA? HAHAHAHAHAHA." Karena Rin mulai mencurigai perubahan reaksiku setiap kali Senpai lewat di depanku, aku akhirnya mengaku padanya. Tapi setelah mendengar tanggapannya, aku merengut sebal sementara dia masih tertawa dengan roti yang belum selesai dikunyah di mulutnya.
Tega sekali dia mengatai senpai mirip member Kangen Band. Ya memang sih, kadang-kadang dari angle tertentu senpai agak mirip dengan member band itu karena gaya rambutnya, tapi tidak selamanya! Dia menertawaiku karena dia belum pernah melihat dengan mata kepalanya sendiri, betapa kakkoi-nya senpai waktu dia meng-cosplay Rurounin Kenshin di salah satu festival Jepang yang pernah ku datangi. Dia belum pernah melihat setampan apa senpai waktu ia mengcosplay Sora dari Anime No Game No Life. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana bergemuruhnya perasaanku ketika melihat senpai memerankan Kirito sore sore di altar  Taman Budaya Jawa Tengah beberapa waktu yang lalu. Dia juga tidak mengerti betapa senpai begitu berkarisma sewaktu dia mengangkat pedang tinggi-tinggi, bertarung dengan gagah di panggung ketika mengcosplay chara Akame Ga Kill. Dia tidak mengerti itu semua.
"Senpaiku di samain sama Andhika Kangen Band. Jahat banget." Ucapku sambil mengunyah krupuk dengan ganas, menunjukkan kekesalanku pada Rin. Tawa Rin sendiri mulai mereda meski dia masih tertawa.
"Iya iya, senpainya Ivy ganteng terakreditasi-A, puas?"
"Nggak puas ah, nggak ikhlas bilangnya."
Rin hanya berdecak sambil mengantongi beberapa tahu bakso ke dalam plastik sambil menaruh uang di dalam kotak.
"Rin, besok minggu dateng ke Jpopers Gathering yuk? Bandnya senpai jadi guest star, aku pengen nonton." Rengekku pada Rin, menunjukkan gambar poster acara di galeri ponselku.
Rin mengambil ponselnya, membuka aplikasi penjadwal mingguanya. "Itu yang hari Minggu bukan acaranya? Nggak bisa aku kalo minggu, ada diklat di Tawangmangu. Nginep dari Jumat sore sampe Sabtu sore."
"Iyadeh, mahasiswi sibuk." Ucapku sambil mempoutkan bibirku sebal di depan Rin. Perempuan itu palah mencubit sebelah pipiku karena gemas. Dia selalu melakukan itu jika aku sedang sebal padanya.
      Seperempat jam yang lalu aku membuka aplikasi ojek online dan meminta pengojek langgananku untuk menjemputku di depan gerbang kos. Seperti biasanya, dia datang lima menit lebih awal dari jam yang kuminta.
"Bentar ya mas, bentar." Teriakku dari atas balkon di depan kamarku lalu bergegas masuk ke kamar lagi. Aku orang yang selalu terburu-buru di segala kondisi. Setelah mengoleskan lip balm tipis ke bibirku yang kering, aku mengecek isi tasku, memastikan semua yang kubutuhkan nanti telah kubawa.
"Maaf udah bikin mas nunggu." Kataku setelah berada di atas boncengan sambil memakai masker hitam penutup wajah sebelum memakai helm. Aku membenarkan sarung tangan hitam yang kupakai karena kurang terasa nyaman di jari.
Mas Sebastian menoleh ke samping agar suaranya terdengar olehku dengan jelas, "Nggak papa. Kemana?"
"Taman Balekambang."
Setelah janjian dengan mas ojek langganan tentang kapan kira-kira aku akan menghubunginya untuk mejemputku pulang, aku segera berbaris mengantri membeli tiket untuk memasuki kawasan acara.
Senpai dan teman-temannya baru akan manggung sekitar pukul satu, jadi aku memutuskan untuk mencicipi kuliner dan menjelajahi stand-stand yang dipajang disana terlebih dahulu. Mulai dari melihat-lihat beberapa action figure vocaloid yang dipajang di etalase salah satu stand, membuat orizuru dari kertas-kertas origami bermotif cantik, sampai mengikuti sesi open class belajar bahasa Jepang. Kadang-kadang, jalan-jalan sendirian memang menyenangkan, tapi sendirian diantara kerumunan orang juga membuatku dilanda perasaan kesepian.
Aku sedang menyeruput bubble tea di atas tempat duduk dari semen dibawah pohon, ketika sebuah motor ninja berwarna hitam melintas dihadapanku. Aku mengenali pemilik motor itu. Dari helm hitamnya yang bertuliskan shohei, aku dapat menjamin kalau laki-laki bermotor itu adalah senpai.
Laki-laki itu memarkirkan motornya di tempat yang tidak jauh dari tempatku duduk. Dari sini aku bisa melihat kalau laki-laki itu sedang melepas helmnya. Benar saja, dia memang senpai. Ketika dia melepas jaket sambil menengadahkan kepala, sesuatu terlempar dari saku jaketnya, tapi ia langsung meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju ruang gedung yang menjadi backstage.
Setelah memastikan kalau Senpai telah benar-benar tak terlihat, aku menghampiri tempat dimana senpai memarkirkan motornya. Sebuah ponsel android tergeletak di atas rumput disekitar semak-semak.
"Kayaknya Taka senpai nggak sadar kalo hpnya jatuh." Gumamku pada diriku sendiri ketika memungut ponsel itu.
Sambil menunggu pesanan wonton ramenku datang, aku terus berpikir keras. Apa yang harus kulakukan. Kalau aku minta izin pada panitia untuk masuk ke backstage dan memberikannya langsung ke senpai, aku akan ternotice olehnya. Yah, memang selama ini aku ingin di notice oleh senpai, tapi disisi lain aku tidak berani berhadapan langsung dengan senpai. Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa jika aku sampai ternotice olehnya. Setiap kali ada acara di luar dimana ada senpai disana, aku selalu mengenakan jaket berhoodie, memakai masker dan sarung tangan agar aku bisa leluasa menatap senpai dari sisi mana saja tanpa rasa khawatir.
"Buka? Enggak. Buka? Enggak." Aku mengambil ponsel itu dari atas meja, lalu meletakannya. Mengambilnya lagi, lalu meletakannya lagi. Aku gamang. Ingin membuka isinya tapi itu privasi orang.
"Jangan ivy!!! Itu privasi!" Aku menjedot-jedotkan kepalaku di atas meja.
"Aargh. Yasudahlah aku nyerah." Aku angkat tangan, lalu mengambil ponsel itu. Tergoda untuk mengintip isinya.
Aku mencoba mengetikkan kode pengunci standar, mulai dari 0000, 1234, tanggal lahir, sampai nomor asal-asalan. Tapi semuanya gagal. Aku tidak bisa membuka kunci ponsel itu.
Aku meletakkan ponsel itu di atas meja lagi. Sesaat setelahnya, ramen pesananku datang. Daripada pusing, kuputuskan untuk menikmati ramenku saja dulu sebelum dingin. Ketika aku hendak memasukkan satu suapan ke mulutku, aku teringat angka di punggung yang sering dipakai Senpai ketika bermain futsal. Aku pernah menontonnya bertanding melawan anak laki-laki angkatanku beberapa kali dan meskipun warna kaosnya berbeda, nomornya selalu sama. 29. Aku tidak tahu apa arti nomor 29 bagi senpai, tapi ketika aku mengetikkan 2929, tombol kunci di ponsel Senpai terbuka!
"Yosh!" Aku berteriak kegirangan dengan suara lirih. Aku sadar kalo aku tengah di berada di kedai ramen terbuka diantara banyak orang. Akan jadi aneh bila aku berteriak keras kegirangan padahal sedang sendirian.
Ikon yang kupencet pertama kali adalah galeri. Di dalam foto, senpai tidak terlalu narsis. Meskipun ada seratus foto dirinya di galeri, posenya sama semua. Senyum dengan dua jari di sebelah pipi. Selalu begitu. Aku tidak terlalu puas melihat galerinya. Kebanyakan adalah foto yang sudah dia unggah di akun instagramnya yang sudah pernah kulihat semua. Foto-foto di galeri yang belum pernah kulihat hanya fotonya bersama teman-teman bandnya. Tadi aku berekspektasi kalau aku akan menemukan banyak foto perempuan atau setidaknya gambar gebetannya di galeri senpai, tapi ternyata tidak. Yang banyak hanya foto-foto senpai bersama vokalis bandnya. Kalau tidak salah namanya Ken. Aku pernah stalking Ken Senpai, meski laki-laki, bagiku dia adalah pria cantik sekelas flower boy.
"Masa nggak ada foto cewek sama sekali selain ibunya?" Ucapku heran. Tiba-tiba ponsel senpai yang sedang ku pegang bergetar. Seseorang menelpon. Aku mengecek identitas penelpon di layar. Disana tertulis 'Waifu'. Aku tercengang melihat nama kontak itu. Waifu? Siapa yang dianggap Senpai sebagai waifu? Aku ingin mengangkat telepon itu, tapi tidak. Aku tidak boleh melakukannya. Bagaimana kalau orang yang dinamai Waifu sedang bersama senpai? Bisa-bisa mereka berdua menghampiriku ke sini.
Waifu terus mencoba menelpon beberapa kali. Meski aku penasaran, tapi akhirnya sengaja ku biarkan. GPS di ponsel senpai juga ku matikan.
Beberapa saat kemudian, ada sms masuk.
Dari : Waifu
Pesan :
Siapapun yang menemukan ponsel ini, tolong kembalikan. Kalau ingin ditukar dengan sejumlah uang, aku akan berikan. Bagaimana?

Benar dugaanku. Senpai sedang bersama Waifunya. Dia pasti sudah mengecek ponselnya di sekitar tempat parkirnya, makanya dia sudah berasumsi kalau seseorang telah menemukan ponselnya.
Aku membaca pesan-pesan waifu yang terbaru sampai terlama.
Membaca balas-balasan pesan antara Senpai dan Waifu, mataku berair. Lututku terasa lemas. Rasanya ingin menangis saja.
epertinya senpai sudah punya kekasih. Sepertinya Waifu memang kekasih Senpai. Pesan-pesan yang dikirimnya pada Senpai seolah mengatakan begitu.
"Ponselku ketemu? Ya Tuhan, syukurlah!" Ucap senpai seraya menerima ponsel miliknya yang disodorkan oleh salah satu panitia acara. Dia datang bersama Ken Senpai. Wajah mereka berdua terlihat lega.
"Ketemu dimana?" tanya Ken Senpai pada mbak panitia yang kutitipi ponsel milik Senpai. Aku mendengarkan percakapan mereka dari bilik kayu di samping backstage.
"Tadi tiba-tiba ada mbak-mbak nyamperin, katanya dia nemu barang ilang."
"Mbak-mbak? Siapa? Dimana orangnya sekarang?" Tanya senpai penasaran.
"Nggak tau. Belum sempet nanya namanya udah keburu pergi."
Taka Senpai mengangguk-angguk dan berterimakasih pada mbak panitia sebelum mbak-mbak itu pergi meninggalkan tempat itu. Sekarang hanya ada mereka berdua disana. Bertiga denganku sebenarnya, kalau mereka tahu.
"Syukur deh ditemuinnya sama orang yang mau ngembaliin." Kata Ken Senpai sambil menepuk bahu Taka Senpai.
"Pengen bilang makasih sama yang nemu tapi palah udah keburu pergi."
Mendengar Senpai berkata begitu, aku menggigit bawah bibirku. Senpai ingin berterimakasih padaku?
"Yaudah. Mending sekarang kita cepetan balik. Bentar lagi kita yang tampil." Ken senpai menarik lengan kurus milik Taka Senpai. Laki-laki itu hanya menurut.
"Wait, wait." Langkah Ken Senpai terhenti oleh ponsel di saku celananya yang bergetar.
"Halo? Siapa ini?" Taka Senpai dan Ken Senpai saling bertatapan.
"Halo?"
Dahi Taka Senpai berkerut melihat ekspresi Ken Senpai. Laki-laki itu hanya mengangkat bahu.
"Halooo?"
Tut. Tut. Tut. Telepon terputus.
Di balik bilik, setelah memutus sambungan telepon, aku membekap mulutku sendiri. Hatiku rasanya mau mencelos. Tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Aku menatap layar ponselku. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Aku tadi hanya menyimpan nomor Taka Senpai dan Waifu. Aku penasaran dengan orang bernama waifu, jadi aku mencoba menelponnya. Tapi ketika teleponku diangkat, yang terdengar hanya suara milik Ken Senpai. Persis seperti yang ada di sekitarku. Bagaimana mungkin?
       Aku mengintip sedikit dari tempat persembunyianku. Tampak punggung milik Taka Senpai dan Ken Senpai yang sedang memasukkan kembali ponselnya ke saku celana.
Tangan Ken Senpai menggapai jari-jari milik Taka Senpai. Laki-laki itu menoleh padanya seraya berkata, "Telepon dari siapa, Waifu?"
Di jalan pulang, dalam keheningan yang panjang, aku merenung, lalu tertawa. Menertawakan hidupku. Menertawakan diriku sendiri.
Aku merogoh saku jaketku, mengambil ponsel didalamnya, lalu menuliskan pesan untuk nomor yang baru saja kusimpan beberapa menit yang lalu.
To : Senpai
Pesan :
Dear God. I don't want to ask you to make my senpai love me back. But please God, take care of my senpai.
Aku mematikan ponselku untuk mengambil kartu sim yang tadi kugunakan untuk mengirim. Mematahkannya jadi dua dan melemparnya ke belakang. Aku tersenyum pahit. Bukan hanya kartuku, hari ini, hatiku juga sepatah ini.
"Disini!" Mas Sebastian, melambai-labaikan tangannya dari atas motornya, mencoba memberitahu posisinya padaku.
Aku berusaha memasang wajah tersenyum dan berlari kecil ke arahnya.
"Kok cepet?" Tanpa menjawabi perkataannya terlebih dahulu, aku langsung menaiki boncengan.
"Ke tempat karaokean sekarang." Ucapku sambil menepuk bahu Mas Sebastian.
"Kenap-"
"Jangan banyak tanya ke orang yang lagi patah hati."

BAB 6: Anak Kos: The Bittersweet of Daily Life

BAB 6: Anak Kos: The Bittersweet of Daily Life
Jika aku: sebagai anak kosan, ditanyai tentang apa makna sebenarnya dari kemerdekaan, maka aku akan dengan lantang menjawab, "Kemerdekaan yang sesungguhnya bagi anak kosan adalah ketika Soekarno Hatta berjajar dengan tampan dalam dompet kita."
Kalau yang berjajar di dompet kita masih Pattimura bersama pedangnya, itu berarti kita masih belum bebas dari penjajahan. Kita belum merdeka!
Bagi anak kosan, Merdeka-Status quo- sampai Terjajah adalah siklus yang terus berulang sepanjang bulan. Siklus tak berujung. Siklus tanpa akhir. Bagian dari lingkaran setan. Illuminati confirmed!
Di Kosan, aku sering sakit perut dan kelaparan untuk beberapa alasan. Yang paling sering biasanya cuma gara-gara hal sepele: mager keluar kosan buat cari makan. Seperti sekarang. Aku sedang menonton stand up comedy di youtube sambil menunggu pesananku datang. 
"Pesanan! Mbak! Pesanan Datang!" suara mas-mas pengantar makanan dari balik gerbang terdengar sampai kamarku di lantai 2. Sepertinya itu adalah pesananku karena anak penghuni kamar kosan yang lain tak ada yang menanggapinya.
"Iya pak! Sebentar!" Teriakku bangkit dari hadapan layar laptop, mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu lalu keluar kamar sambil terburu-buru. Di luar dingin.
Ketika aku berjalan menuruni tangga, aku dapat melihat sekilas kalau perawakan pengantar pesanannya berbeda dari mas-mas yang biasanya.
"Jangan-jangan, itu pesanan anak lain?" Aku berhenti sebentar di tangga, tapi kemudian aku berjalan lagi, sepertinya lebih baik kupastikan saja dulu. Siapa tau memang itu pesananku.
"Mas, maaf itu ada yang pesanannya isinya nasi liwet sama ayam bakar madu bukan ya?"
Ia yang sedang berdiri membelakangiku untuk memilah-milah kardus bertuliskan isi pesanan dalam keranjang box di motornya, memberi tanda padaku dengan kelima lima jarinya untuk menunggu.
"Nasi liwet sama ayam bakar madu ya mbak," ucapnya padaku sambil menyerahkan sekotak kardus berisi pesanan. Aku tak segera mengambilnya karena sedang mengambil uang dari dompetku.
"Nih mas, uangnya. Kok yang nganter ganti? Emang mas-mas yang biasanya lagi ke-- lho?" Aku terperanjat ketika mas pengantar pesanan itu menaikkan kaca helmnya.
"Mas Sebastian? Lagi? Ya ampun. Kita kok sering banget ketemu sih?"
"Hahaha. Iya juga. Kok kita ketemu terus dari kemarin sih perasaan?"
"Nggak ngerti. Apa orang sekompleks isinya aku sama mas Sebastian doang ya? Terus mas ini profesinya ada berapa sebenernya? Kok hampir semua jasa disini pegawainya Mas Sebastian semua. Ckckck."
Aku benar-benar tidak habis pikir dengan orang ini. Kenapa dimana-mana hanya ada dia?
"Haha, aku cuma nggak suka nganggur aja orangnya. Kamu ngekos disini?"
"Enggak mas, lagi maling disini. Yaiya lah mas, ngapain lagi disini kalo nggak ngekos. Tukang kebun?"
Ia hanya tertawa. Lagian, pertanyaannya udah jelas banget. Kenapa masih ditanyain?
"Mampir mas, kapan-kapan."
"Lha? Emang boleh dimasukin cowok kosnya?"
"Enggak sih. Kan tadi lagi basa-basi aja mas hehehe."
"Dasar."
"Mas sendiri kosnya dimana?" "Gerbang belakang." Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk dengan ujung jarinya.
Aku manggut-manggut.
"Yaudah, aku masuk dulu ya mas, makasih makanannya."
"Sip."
Aku berlari menuju kamar kosku yang dalamnya nggak pernah nggak berantakan. Keadaan kamar kosku itu menyedihkan. Dinding-dinding isinya cuma sticky notes yang selalu setia ngingetin jadwal deadline tugas seminggu kedepan. Tumpukan cucian di keranjang dekat lemari selalu menggunung. Cangkir-cangkir yang kotor oleh kopi selalu setia berderet di bawah meja. Bungkus-bungkus camilan yang ada di plastik sampah sering tumpah-tumpah gara-gara nggak rajin buang sampah tiap minggu.
Raknya sendiri palah kosong gara-gara buku-buku berserakan diatas meja.
Daripada kamar kosan, ini lebih pantas disebut camp konsentrasi jaman Nazi.
Aku menyalakan laptop, membuka folder Running Man dan memutar salah satu episodenya. Sudah pernah kutonton semua, tapi aku sengaja menyalakannya sebagai teman makan. Ini masih tanggal pertengahan, makanya aku masih bisa membeli makanan yang layak makan. 
Kalau lagi kere-kerenya, hari-hariku selama seminggu hanya diisi oleh mie instan dengan berbagai varian rasa: rasa yang paling kusukai adalah alfamie rasa iga penyet, rasa sate, rasa rendang, rasa yang terpendam, dan rasa ingin memiliki. Kalo lagi nabung buat nonton konser beda lagi menunya, cuma makan nasi sama garam. Nangis pedih sambil nyanyi, "Sudah tau luka, didalam hatiku sengaja kau siram dengan air garam."
Aku menatap kalender yang meskipun sudah kulihat setiap hari, tak membuat warna angkanya jadi merah semua.
Tanggal muda masih jauh. Kalau sedang awal bulan, aku biasa pergi jalan-jalan dengan teman sejurusan dan hanya baru pulang ke kos-kosan ketika perut, mata dan hati telah kenyang serta tidak lupa membeli sesuatu untuk dimakan nanti malam.
Pertengahan bulan itu waktu-waktu gencatan senjata, keadaannya cukup damai meski sudah terancam akan terjajah lagi. Di pertengahan bulan, aku masih bisa pergi ke warung makan sekitar kosan saat hari masih sore. Aku tidak berani keluar sendiri malam-malam hanya untuk beli makan. Aku anak yang jarang berinteraksi dengan teman sesama penghuni kos lainnya. Kalau di kos aku cuma selalu berada di dalam kamar. Keluar cuma buat hal-hal yang penting aja dan terkesan nggak ada itikad buat berbaur dengan penghuni kosan yang lain. Meskipun anak-anak lain sedang berkumpul di salah satu kamar tetangga, bercanda bareng, makan bareng, ngobrol bareng, dengan suasana kos yang se-hingar bingar itu, aku seperti hidup sendiri dan tak berminat untu keluar kamar. Pintuku selalu tertutup untuk orang lain. Aku bukannya tidak mau bergaul dengan anak kos yang lain. Aku hanya suka menyendiri di dalam kamarku. Kalaupun aku ikut bergabung, aku tidak punya sesuatu untuk dibicarakan.
Di kos-kosan, aku juga tipe anak yang homesick-an. Dikit-dikit pengen pulang, dikit dikit telepon rumah. 
Mungkin akan beda rasanya kalau aku adalah anak kosan dengan tipe lain. Mungkin aku akan betah di kosan dan tidak merasa kesepian.
Di kosanku, aku satu-satunya anak dengan tipe penyendiri. Tipe-tipe makhluk yang menghuni kosan itu ada banyak. Pertama, anak kos tipe penyambung silaturahmi. Mereka ini sering banget mengetuk pintu tetangga dari kamar ke kamar. Sesering orang minta sumbangan. Mereka suka main ke kamar kosan tetangga buat ngajak ngobrol yang punya kamar sampe larut malam. Padahal yang punya kamar lagi sibuk nugas tapi nggak enak hati buat ngusir.
Ada anak kos tipe penggledah. Anak kos tipe-tipe ini sering main ke kosan tetangga untuk melakukan apapun yang bisa di lakukan. Liat-liat suasana kamar. Megangin benda-benda di kamar. Nggledah isi lemari. Ya pokoknya kepo aja sama isi kamar tetangga.
Ada juga anak kos tipe perampok. Mereka menyatroni semua kamar di seluruh penjuru kosan hanya untuk bertanya, "Punya makanan gak?". Ia suka sekali menjarah makanan-makanan di kamar-kamar tetangga.
Meski anak kosan memiliki tipe-tipe yang berbeda. Tapi sebagai anak kosan, kita dididik untuk tujuan yang sama. Mandiri.
Sebelumnya, aku tak pernah melakukan apapun dirumah. Tapi setelah merasakan pedihnya merantau dan hidup di kosan, aku harus  belajar mandiri. Aku harus melakukan semuanya seorang diri. Beli makan sendiri. Masak nasi sendiri. Cuci piring sendiri. Kalo mau ngirit harus cuci baju sendiri. Tidur pun sendiri.
Meski kamar kosku adalah tempat yang menyedihkan, tapi aku jauh lebih suka berada di kamar daripada pergi keluyuran dengan teman-teman.
Dari semua teman kosku, aku orang tersuwung di kosan. Semua teman kosanku adalah anak teknik, kecuali aku yang sastra. Mereka biasa praktikum sampai sore. Kalau aku biasa spazzing di kampus dengan teman-teman sampai sore.

BAB 5: The Princess and The Warrior: Cinta adalah...

BAB 5: The Princess and The Warrior: Cinta adalah...
Pertama kali aku bertemu Rin di hari ospek waktu itu, aku begitu terkesan dengan motto yang tertera di kardus yang kalunginya.
"Have courage dan be kind." Ejaku. Hari itu kita berkenalan dan jadi teman baik sampai sekarang.
Dari mottonya, tampak sekali kalau dia adalah perempuan bertipe princess. Sedangkan aku sendiri, aku menuliskan motto "Fighting!" Di papan nama ospekku. Dapat tertebak dengan mudah kalau aku adalah perempuan bertipe warrior.
Semua orang juga tahu, dalam dongeng-dongeng umunya seorang putri ditakdirkan untuk berjodoh dengan pangeran. Tapi aku bukan putri, aku seorang warrior.
Rin adalah seorang putri, maka ia akan berjodoh dengan seorang pangeran. Tapi karena aku warrior, aku tidak tahu warrior itu jodohnya siapa?
Pernah aku memimpikan seorang pangeran, tapi sepertinya semasa kecil aku belum pernah membaca kisah tentang warrior perempuan yang berakhir bahagia dengan seorang pangeran.
Princess dan Warrior pasti punya persepsi yang berbeda soal cinta. Tapi aku masih tidak terlalu tau seperti apa cinta itu. Padahal, entah itu jaman sd, entah itu jaman smp, entah itu jaman sma, atau bahkan jaman kuliah, meski itu di sekolah, bukan pelajaran yang jadi bahasan utama para siswa, tapi cinta.
Tapi cinta itu sendiri yang seperti apa?
Kalau cinta adalah tentang berubahnya kecepatan jantung yang berdetak ketika kita bertemu seseorang tertentu, atau terjadinya reaksi kimia aneh dalam tubuh yang menimbulkan sensasi seperti sengatan, jujur aku sendiri belum pernah mengalaminya.
Aku suka ketika mendengarkan teman-temanku curhat padaku soal cinta. Perasaan mereka begitu meluap-luap ketika bercerita. Aku jadi berpikir, "Wah, manis sekali!" ketika mendengarkan cerita cinta teman-temanku dengan seksama. Tapi cinta tak pernah berlangsung lama. Memang manis di permulaannya. Lalu hari berganti hari. Sehari, seminggu, sebulan, setengah tahun. Mereka bicara lagi soal cinta, tapi cinta pada orang yang berbeda. Sedang cinta yang dulu telah lenyap entah ke mana. Dititik itu kadang saya bertanya-tanya, jadi sebenarnya cinta itu apa? Kenapa mudah sekali bagi sebagian orang untuk mengganti satu cinta dengan cinta yang lain? Apa cinta itu baju yang bisa kita pakai dan lepas sesuka hati kita? Apa cinta itu kantong kresek yang mampu menampung banyak rasa dari benda yang berbeda dalam satu tempat yang sama? Cinta adalah ketika kita telah berbuat banyak kesalahan dan ia selalu mengampuninya. Cinta adalah ketika kita tersesat dan ia selalu ada di sana untuk menuntun kita menuju jalan yang sesungguhnya. Cinta adalah ketika kita pernah berpaling dan ia masih menerima kita kembali dengan tangan terbuka. Cinta adalah ketika ia telah mengetahui semua kejelekan kita dan masih terus memakluminya.
Cinta adalah ketika kita hancur dan semua orang telah meninggalkan kita, tapi ia berjanji masih akan selalu ada disana, meski kadang kita tak mampu menyadari kehadirannya. Dan ternyata aku telah dicintai separah itu. Bukan hanya aku, tapi semua orang diseluruh dunia telah dicintai separah itu, tapi kebanyakan dari mereka tidak menyadarinya. Cinta seperti apa yang selalu kembali meski banyak penghianatan telah dilakukan oleh sebelah pihak?