Jumat, 19 Februari 2016

BAB 2

BAB 2
Aku yakin setiap orang pasti pernah memiliki selembar nama yang ia simpan rapat-rapat dalam hatinya. Tak terkecuali aku. Hanya saja, selama bertahun-tahun ini aku sudah berusaha untuk tidak ingin tahu lagi bagaimana perasaanku terhadapnya.
Dia pernah menjadi satu-satunya laki-laki selain ayahku yang namanya selalu ada di setiap lembar halaman buku harianku. Selama bertahun-tahun aku telah berusaha untuk tak lagi mengkepo-i kehidupannya, berusaha tak mencari tahu bagaimana kabarnya, apa kesibukannya, atau dimana keberadaannya. Aku telah memutuskan untuk tak lagi ingin tahu apapun yang terjadi padanya. Sejak kejadian itu, aku sudah memutuskan untuk berhenti peduli pada kehidupannya. Tapi ketika aku mulai meyakini kalau diriku sudah benar-benar tak peduli lagi tentang hal-hal itu, takdir palah seakan sengaja membawa laki-laki itu kehadapanku seperti ini.
Di luar, hujan deras sedang turun. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat derai-derai air hujan yang menetes pada kaca-kaca restoran tempat dimana aku berada sekarang:  duduk berhadapan dengan Light diatas meja makan. Ia terlihat seperti orang yang sudah tidak sabar lagi menunggu datangnya makanan, sementara aku palah terkesan seperti orang yang tidak sabar menunggu hujan di luar segera reda agar aku bisa cepat-cepat pulang. Sejak Light mengajakku menanti hujan reda bersamanya di sini, keheningan terus melanda kami berdua. Aku dengan pandangan yang terus memandang lurus ke ponsel di depanku, namun sebenarnya padanganku menerawang. Sementara Light terus sibuk dengan game di ponselnya dengan mata yang sesekali melirik ke arahku, namun aku bersikap seakan tidak tahu.
Light mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas meja, seolah-olah sedang berusaha mencari topik untuk dibicarakan.
"Aku nggak nyangka kita bakal ketemu disini." Setelah beberapa lama saling diam, Light akhirnya memberanikan diri untuk buka suara.
"Aku juga," balasku singkat. Tidak tahu harus mengatakan apa. Aku sama sekali tidak pernah mengira kalau hal seperti ini akan terjadi: aku dan laki-laki itu, duduk berdua saja seperti sekarang ini. Apalagi ketika mengingat semua hal yang telah terjadi sebelum ini, rasanya canggung sekali.
"Kamu kemana aja selama ini? Nggak pernah ada kabar." Ia lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku hem denim yang dikenakannya, dan mulai mengajakku berbicara dengan saling tatap mata.
"Di media sosial kayaknya kamu juga jarang apdet." Mendengarnya, aku berhenti memandangi layar ponselku, meletakkan benda itu di atas meja. "Ya," jawabku. Aku memang jarang mengupdate media sosialku dengan postingan, aku lebih suka menggunakan akun-akun itu untuk stalking atau belanja online.
"Aku pernah nginvite BBM kamu tapi belum ke-accept sampe sekarang, kenapa ya?"
Soal itu aku sengaja. Sengaja meng-ignore undangannya.
"Oh...itu aku--anu, nggak pake BBM lagi."
"Ooh." Ia mengangguk-angguk mengerti, lalu menambahkan, "Fokus belajar ya?"
"Hah? Oh--ya." Jawabku sekenanya. Fokus belajar apanya. Jangankan baca buku. Apa yang diterangkan guru di kelas saja aku tidak pernah tahu.
Jajangmyeon pesanan kami berdua akhirnya datang. Oya aku lupa mengatakannya, saat tadi Light meminta pendapatku untuk pergi ke restoran mana, aku menyarankan untuk pergi ke restoran dengan masakan Korea.
Ketika kami sedang sama-sama mengaduk mie kami masing-masing di dalam mangkuk, dia bertanya lagi, "Sibuk apa sekarang?"
"Belum ada."
Merasa tidak enak karena sejak tadi hanya dia yang aktif bertanya, aku akhirnya memutuskan untuk balik bertanya, "Kamu sendiri gimana?" Kali ini aku bertanya sambil menatap matanya. Ia tersenyum ketika mendengarku bertanya. Dia kelihatan senang. "Aku di Astra."
"Wah, Astra. Tempat kerja idaman anak-anak STM," pujiku. Aku terkesan mendengarnya. "Selamat ya, kamu emang pantes diterima disana."
"Ah, nggak juga," jawabnya sambil malu-malu. Ia mengaduk-aduk sedotan dalam gelas berisi air pepsi miliknya. "Aku nggak ada apa-apanya kalo dibanding kamu."
Sambil mengunyah mie berkecap hitam itu, aku mengerutkan kening, "Maksudnya?"
"Dulu di SMP, kamu selalu masuk tiga besar di kelas, sedangkan aku, peringkat dua lima, tiga lima...Payah pokoknya."
"Ah, nggak juga," sergahku. "Dulu nilai-nilai matematika dan ipamu selalu sempurna. Aku palah lemah dibidang itu. Aku cuma kuat di bidang hafalan dan bahasa."
"Oh iya ngomongin soal bahasa aku jadi ingat sama perkenalanmu di awal masuk SMP dulu. Kalo nggak salah kamu pernah bilang kamu ingin jadi penulis, kan?" Mendengar dia berkata begitu, refleks aku menghentikan aktivitas makanku. Membiarkan diriku termenung untuk sesaat.
"Kamu ingat? Aku pernah iseng menyembunyikan bukumu? Disana aku nggak sengaja baca tulisanmu."
Aku yang sedang mengelap mulutku dengan tissue, kini berhenti dan menatap ke matanya sebentar.
"Tulisanmu bagus." Mendengar Light mengatakan itu, tanpa sadar aku menjatuhkan tissue di mulutku. Mendadak saja, aku teringat kejadian dulu. Apa maksudnya mengatakan itu? Apa dia sedang berkata jujur? Atau hanya sedang menghinaku? Jika menurutnya tulisanku bagus, kenapa dulu dia melakukan hal itu padaku? Apa niat laki-laki ini sebenarnya ketika mengatakan hal itu?
Lama kami terdiam. Ligjt mungkin menyadari raut wajahku yang menunjukkan air muka tidak suka ketika tulisanku disebut-sebut.
Sepertinya, dia merasa tidak nyaman jika aku dan dia saling terdiam lama seperti ini, jadi dia berusaha menyambung obrolan lagi. "Masih sering kontak-an sama Irene?"
Mendengar nama itu disebut oleh Light, dadaku mulai terasa sesak. Scene-scene itu kini terputar di kepalaku kembali. Kenapa aku ini? Aku sudah berusaha sejak lama untuk melupakan masalah itu. Aku yakin aku sudah tidak peduli tentang hal itu lagi. Tapi kenapa dadaku mendadak terasa sesak seperti ini? Apa itu aku berarti aku masih belum ikhlas dengan semuanya?
"Y-ya. Nggak. Aku--maksudku kami udah lama nggak kontak." Kataku berusaha jujur. Aku memakan mie di mangkukku lagi sambil menatap meja, berusaha menghidari kontak mata.
"Irene bilang dia udah sering berusaha untuk menghubungimu, tapi kamu nggak pernah ngerespon."
Aku meliriknya sebentar, lalu menyeruput mie dengan saus hitam itu pelan-pelan.
Laki-laki itu melanjutkan, "Dia menduga mungkin kamu marah ke dia tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya kalian ada masalah apa?" Aku sudah pasti akan membanting mangkuk kaca di hadapanku ini jika saja saat ini aku sedang makan sendirian di restoran. Marah tanpa alasan katanya. Lucu sekali.
"Mungkin Irene menghubungiku ke nomorku yang lama. Aku sudah lama ganti nomor," jawabku beralasan. Aku merasa tidak punya kepentingan untuk membalas pesan-pesan perempuan itu, anyway.
"Kalau gitu, boleh aku minta nomor teleponmu yang baru?"

Ketika hujan di luar telah benar-benar reda, Light memaksa untuk mengantarku pulang dengan mobilnya, tapi aku segera menolak. Aku ingin pulang dengan bus umum saja, jadi Light hanya mengantarku sampai halte terdekat dan setelahnya, kita berpisah disana.
Di dalam bus di sepanjang jalan pulang, aku masih terus memikirkan kata-kata yang sempat diucapkan Light di dalam mobilnya sebelum kita berpisah, "Kamu inget nggak? Dulu, ketika aku pernah berada di titik terendah dihidupku, kamu mendatangiku dan berkata padaku, 'Aku yakin kita dilahirkan ke dunia ini untuk suatu alasan. Nggak mungkin kita hidup hanya untuk pergi ke sekolah yang membosankan setiap harinya seperti ini, makan makanan junk food, menghabiskan setok drama yang menumpuk di harddisk, mengalami patah hati di sana sini, pergi kerja-dapat gaji-lalu gajinya habis hanya untuk membayar hutang, lalu mati. Nggak bisa. Hidup kita nggak boleh cuma seperti itu."
Dia memberhentikan mobil itu, dan sebelum aku meraih pegangan pintu untuk keluar, ia menatapku dalam. "Katamu waktu itu, kita punya kebebasan untuk menentukan jalan hidup kita sendiri. Kamu mau sukses atau mau gagal semuanya terserah kamu. Kita semua adalah pemain yang berdiri di lapangan yang sama. Kaku, aku, orang lain kita semua punya kesempatan yang sama untuk menciptakan gol."
"Apa kamu tau? Ucapanmu waktu itu telah menjadi alasanku masih menjalani kehidupanku sekarang."
Di kursi halte tadi sore, aku merenung. Aku bahkan sudah tidak ingat kalau kata-kata seperti itu pernah terucap dari mulut orang sepertiku. Tapi kenapa dia masih ingat dengan apa yang pernah kukatakan padanya dulu? 
Obrolanku dengan Light hari ini membuatku tersadar kalau hidupku telah banyak berubah semejak aku dan dia berada di kelas yang terpisah. Sejak aku lulus SMP dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMK, aku merasa aku telah menjadi orang lain yang entah siapa.
Seandainya disisiku masih tersedia seorang ibu yang selalu memperhatikan kehidupanku dan bagaimana aku tumbuh; Masih tersedia sesosok ayah yang menasehatiku untuk menjadi anak baik di meja makan; dan memiliki saudara yang selalu punya waktu untuk berbagi keluh kesah, mungkin hidupku akan berbeda. Mungkin sekarang, aku masih jadi anak baik-baik yang lebih memilih duduk berjam-jam di meja belajar--seperti saat aku masih kelas satu smp--daripada pergi-pergi keluar. Tapi kenyataannya, kini tak ada siapa-siapa selain seorang kakak perempuan yang terus-terusan sibuk bekerja. Aku sering berada di rumah sendirian, dan meski kakakku hanya kadang-kadang berada dirumah, tetapi kapan saja timbul perselisihan, aku akan pergi ketika dia mulai mengomel panjang--menginap di kosan temanku.
Pada suatu titik dalam hidup ini, semua orang mungkin pernah mengalami saat-saat yang gelap, ketika hidup rasanya gersang, tidak ada tujuan dan menyakitkan. Aku merasakan kekosongan yang amat sangat pada diriku. Hari itu di dalam kamar, ketika membolak-balikkan badan di atas kasurku, berbagai rasa pedih datang menyerangku : impian yang hancur, rasa takut yang tak menentu kalau-kalau aku mungkin tak akan punya masa depan yang cerah setelah ini, dan betapa kerasnya dunia memperlakukanku. Malam-malam setelah itu, aku sering berdoa, memohon dan menangis sendirian saja di sudut kamarku.
Di keseharianku yang penuh tekanan, aku mendapati bahwa bermain game online merupakan cara yang baik sekali untuk melepaskan stress di kepalaku. Sejak saat itu aku sering membolos sekolah, pulang dari game center ketika hari sudah malam dan terlalu tidak nafsu untuk belajar atau tidur. Jadi, aku membuat kopi, memasak mie instan dan menghabiskan waktu dengan membaca manga atau menonton film sampai tengah malam. Rutinitas itu membuatku kehabisan energi setiap pagi dan tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Akibatnya, nilai-nilai yang kudapat selalu jeblok. Sejak saat itu, keyakinanku tentang diriku sendiri perlahan berubah.
Tapi hari ini, perkataan Light membuatku menyadari kalau selama ini, nilai-nilai hidupku telah jauh bergeser dari posisi awal sehingga aku bahkan tak lagi mengenali prinsip-prinsip yang pernah kupegang dulu.
 Setelah melepas sepatu dan melemparkannya ke rak, aku membuka pintu seraya berteriak, "Aku pulang."
 Lampu ruang tamu menyala, itu berarti kakak sedang ada di rumah. Tapi tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang berada di dapur atau di kamar mandi, jadi dia bisa mendengar teriakanku. Atau kemungkinan lain dia masih marah padaku soal ijazah itu dan sengaja tidak menjawabku.
 Selepas ganti baju, aku keluar dari kamar dan berjalan ke dapur, mengambil camilan di lemari lalu menuju sofa di depan TV dan mendapati kakakku telah berada di sana, sedang tiduran di atas sofa sambil memainkan ponselnya, sementara TV di depannya dibiarkannya tetap menyala meski tidak ia tonton.
 "Dari mana aja?" Tegurnya padaku. Ia baru menyadari keberadaanku disana saat aku mengambil remote di samping kakinya dan mematikan televisi.
Tanpa menjawab, aku menyaut ponsel digenggamannya. Ia terlonjak kaget dengan perbuatanku yang terlalu tiba-tiba. Ia baru akan mengatakan sesuatu, ketika aku sudah berbicara mendahuluinya. "Kak, aku mau kuliah."
Mendengar ucapanku barusan, kakakku hanya melongo dalam posisinya. Mungkin saat ini ia sedang berpikir--apa yang salah dengan anak ini?
"Kamu bilang apa tadi?" tanyanya lagi, berusaha memastikan kebenaran dari apa yang didengarnya barusan.
"Aku mau kuliah," ulangku.
***
Aku menarik selembar kertas HVS yang baru saja keluar dari mulut printer itu. Memandangi kartu peserta ujian milikku yang kini telah tercetak disana.
Ternyata sudah sebulan sejak aku mendatangi kakaku di sofa depan televisi dan mengatakan padanya ingin mendaftar kuliah. Meski aku yakin kalau di dalam hatinya saat itu, dia tidak percaya diri kalau aku bisa melakukan itu--lulus ujian masuk universitas--tapi melihat kesungguhan dari pancaran mataku malam itu, ia memutuskan untuk mendukungku. Paginya, ia begitu antusias mendaftarkanku les persiapan ujian masuk universitas.
Bagi orang dengan otak yang sudah terlanjur kusut sepertiku, sebulan terakhir ini terasa berat sekali : bayangkan saja, aku harus mempelajari materi-materi yang tak pernah kupelajari di sekolahku sebelumnya. Sejak aku sering tak memahami materi yang diajarkan di tempat les dan selalu mendapat skor jelek di try out-try out yang mereka adakan, aku yang awalnya menghindar untuk membuka materi-materi itu mulai membaca-bacanya sendiri di rumah. Membayangkan sekeras apa kakakku telah bekerja selama ini demi membiayai hidupku dan mengingat apa yang sejauh ini telah kulakukan dengan hidupku membuatku bertekad untuk menseriusi hidupku mulai saat itu.
Di rumah, aku membagi bab-bab menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian kuberi tenggat waktu tentang kapan aku harus selesai membacanya agar aku masih punya waktu untuk bermain game atau berselancar di internet.
Aku menggeser kursi putar berodaku, membuat badanku diatasnya meluncur dari depan printer menuju meja di dekat lampu tidur : memasukkan kartu ujianku ke dalam stopmap plastik berwarna biru dan meletakkan benda itu di atasnya. Tidak terasa sebulan telah berlalu dan dua hari dari sekarang, aku akan menjalani ujian yang sesungguhnya. Besok pagi, kakakku akan mengantarku ke kontrakan sepupuku di Sleman : mencari lokasi ujian.
Seusai mencuci kedua kaki dan tangan, aku beranjak menaiki kasurku, merebakan badan lelahku di atas sana dan menyelimutinya dengan kain berbahan wol. Sambil menatap pekatnya warna langit malam dari kaca jendela, aku teringat dengan sebuah quotes yang pernah kutulis diatas kertas dan kutempelkan di jendela. Meski kertas itu kini sudah entah dimana, aku masih dapat mengingat isinya, 'Apapun yang terjadi, bangunlah, berpakaianlah, dan bertarunglah demi impianmu.'
Jangan pernah percaya pada janji-janji manis yang ditawarkan pria phk: pemberi harapan kosong. Juga jangan menyerahkan kepercayaanmu sepenuhnya pada Gugel Mep ketika mencari tempat yang kau tuju. Karena Pria pemberi harapan kosong dan Gugel Mep berbagi prinsip yang mirip, sama-sama memberikan pencerahan dan harapan tentang apa yang kita cari tapi pada akhirnya tak menjanjikan apapun.
Aku pernah diberi harapan-harapan kosong oleh Gugel Mep beberapa kali ketika mencari lokasi obyek wisata bersama teman-temanku, tapi sayangnya aku belum kapok juga. Sore-sore sekali aku dibonceng vespa oleh sepupuku mengelilingi Sleman, mencari lokasi ujian untuk memastikan ruangan dan mencocokkan nomor tempat duduk sesuai kartu hanya bermodalkan Gugel Mep.
"Sudah, percayakan saja semuanya padaku." Kata sepupuku menepuk-nepuk dadanya sambil menyerahkan ponsel bergugel mep padaku sebelum kami berangkat.
Di sepanjang perjalanan, aku agak cemas karena gelagatnya menunjukkan kalau dia tidak yakin dengan jalan yang diambilnya.
"Duh, ini jalannya bener nggak ya?! kata Gugel Mep sih lewat sini, tapi kok aku ragu ya." Dia menggaruk-garuk pelipisnya yang aku yakin sekali tak benar-benar gatal. Ia hanya bingung.
"Udah, ikuti jalan aja dulu, siapa tau nanti ketemu," kataku berusaha menenangkan. Padahal dalam hati, aku sendiri juga merasa cemas.
Jalan raya, fly over, jembatan, jalan-jalan trobosan, gang-gang kecil, semua sudah kita lewati sampai kita putari beberapa kali, tapi tempat ujian yang kita cari belum juga dapat ditemukan. Tempat yang menurut Gugel Mep adalah lokasi ujian tujuanku, ketika kita datangi ternyata palah sebuah pub. Di depan pub--aku, kita berdua bingung sekali. Hari sudah begitu sore. Batre kami berdua habis. Aku lupa tidak membawa charger sementara saat ini kita sedang tersesat entah di daerah Sleman bagian mana.
Di pinggiran jalan di trotoar, aku tersadar kalau disini aku yang salah sejak awal. Pergi bersama sepupuku yang terkenal sebagai pria phk dengan bantuan gugel mep yang faktanya telah menyesatkanku beberapa kali. Beruntungnya, sepupuku masih bisa menemukan jalan pulang. Aku jadi berpikir mungkin seharusnya sejak awal aku pergi bersama seorang ustad saja, karena dialah yang bisa menunjukanku ke jalan yang benar.
Malam sebelum ujian sbmptn, aku sedang tidur-tiduran saja di depan TV ketika aku membuka path dan melihat salah satu teman SMPku, namanya Ririn, baru saja check out dari lokasi ujian yang alamatnya sama persis dengan yang tertera di kartu ujianku. Cepat-cepat aku menghubunginya dan memintanya untuk bertemu di sebuah halte dan berangkat bersama. Itulah kenapa akhirnya aku bisa berada disini sekarang. Duduk-duduk di depan ruang ujian sambil memegangi alat tulisku dengan gemetar.
Aku memeriksa kelengkapan alat tulis dan berkas-berkas yang harus kubawa lagi dan lagi. Memastikan kalau tidak ada yang tertinggal. Pensil 2B, aku sudah membawa empat batang dan meraut tiap ujung sisinya sampai tajam semalam; penghapus 2B hitam; penggaris berlubang untuk melingkari lembar jawaban; papan ujian dari kayu dengan penjepit diatasnya. Oh ya, kartu peserta ujian, pas foto, dan skhu--oke lengkap. Aku membawa semuanya.
Bel tanda peringatan untuk mulai memasuki kelas berdering. Setelah membuka kelas yang terkunci, dua orang pengawas berjalan memasuki ruangan, disusul oleh para peserta ujian yang memasuki kelas dengan tertib. Sambil membungkuk, aku memunguti barang-barangku yang berserakan di atas lantai, dan berlari memasuki ruangan sambil tergopoh-gopoh.
Sebelum ujian dimulai, salah seorang pengawas memeriksa kelengkapan berkas para peserta satu persatu dan memastikan takkan ada kecurangan selama ujian. Foto yang ada dalam database yang dipegang petugas dicocokkan dengan wajah para peserta satu-persatu.
Sejak duduk di kursi yang mejanya tertera nomor pendaftaranku, aku berusaha mengatur pernapasanku dan mengontrol perasaanku. Aku merasa begitu nervous dan tidak siap dengan semua ini, tapi aku tahu aku harus berusaha untuk tetap tenang. Ketika petugas perempuan yang memakai kacamata dengan frame bold, berambut seleher dan memakai lipstik yang menurutku warna merahnya ketebalan itu mendatangiku, dia beberapa kali menatap wajah asliku lalu fotoku di database dan mengulanginya lagi untuk beberapa kali. Dia menahanku lama. Dan setelahnya, dia curiga kalau aku adalah seorang joki.
"Jelaskan kenapa wajah aslimu beda dengan foto peserta di dabatase kami."
Deg! Aku yang awalnya sedang bersiul-siul dalam hati saat berusaha menenangkan diriku sendiri mendadak jadi panik gara-gara itu.
Petugas itu menatapku tajam dengan wajah galak."Kamu joki ya?"
"Bukan bu, bukan. Sumpah!" Elakku sambil memberikkan tanda dengan tanganku.
Dia melipat tangannya di dada, menghela napas ringan dan tetap berdiri di samping mejaku."Kok fotonya sama aslinya beda banget?"
Aku duduk dengan gelisah dalam posisiku. Kini, seisi ruangan sedang menatapku. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku saat ini, tapi tetap saja tatapan mereka semua membuatku semakin gelisah. Tidak ingin membuat urusannya jadi panjang dan di diskualifikasi dari ujian, aku meberanikan diri sendiri untuk berdiri. Jujur, aku malu mengakuinya didepan orang banyak, tapi aku tidak punya pilihan lain selain melakukan ini. Aku akan membuat pengakuan. Ya. Aku harus melakukannya.
"Sebenarnya sebelum dicetak, foto ini telah melalui tiga kali proses pemfilteran," kataku menjelaskan. "Proses pertama di retouch pake XiuXiu. Terus di edit pake efeknya Camera 360. Dan proses finishingnya pake Beauty Plus." Ketika aku telah selesai menjelaskan, seisi ruangan segera ber-oh panjang. Mungkin mereka kini memahami kalau aku hanya menginginkan foto dengan editan sempurna untuk dipasang di ijazah dan kertas-kertas lainnya.
"Jangan percaya sama foto bu, foto itu biasanya hanya hoax," tutupku sebelum akhirnya duduk kembali. Akhirnya, petugas perempuan dengan tampang tipe ibu tiri itu melepaskanku.
Lembar jawaban telah dibagikan. Lembar soal yang memuat soal-soal yang berbeda setiap mejanya telah disebar. Bel pertanda ujian dimulai juga telah dibunyikan.
Tidak tahu bagaimana dengan pekerjaan milik peserta lain--tapi aku sendiri belum mengerjakan satu soalpun sampai saat ini. Aku merasa tegang : pelipisku berkeringat parah dan perasaan ingin pipis begitu mengganggu konsentrasiku dan membuat kepalaku semakin sulit saat dipaksa berpikir. Aku menatap sekeliling sambil menahan keinginan untuk buang air kecil, aku ingin izin keluar ruangan tapi jika peserta ingin pergi ke toilet, peraturannya adalah sang peserta harus di kawal petugas sampai toilet untuk menghindari adanya kecurangan yang mungkin akan dilakukan. Jadi aku mengurungkan niatku untuk pergi ke kamar kecil dan berusaha menahannya sampai sesi ujian pertama berakhir.
Aku mulai mencoba memahami maksud soal nomor satu. Ketika melihatnya secara keseluruhan, aku hanya bisa cengo ditempatku. "KAMPRET!" Umpatku dalam hati.
"APA-APAAN NIH? SOAL MACAM APA NIH? EMANGNYA PERNAH DIAJARIN SOAL KAYA BEGINI?" Teriakku--masih dalam hati. Demi apapun, pola-pola ujian kali ini adalah pola-pola baru yang sama sekali berbeda dengan pola soal-soal tahun lalu yang kupelajari di tempat les. Aku menenggak ludahku sendiri yang terasa pahit ketika ditelan. Apa yang harus kulakukan? Apa aku mengarang saja? Tapi jika jawabanku salah, aku akan dapat poin -1 setiap satu soal dengan jawaban salah. Bagaimana ini? Ini baru tes kemampuan akademik dan belum apa-apa otakku seolah sudah kehabisan bahan bakar di perjalan.
Detik ini, setelah menengguk tetes terakhir dari botol air mineral kedua yang kubeli, aku bisa bernapas lega. Aku tidak tahu apa yang tadi kulakukan selama berada dalam ruang ujian--pokoknya aku tidak mau mengingat-ingat hal itu untuk saat ini. Yang jelas, isian dalam lembar jawaban yang kukumpulkan tadi kacau sekali.
Saat ini aku sedang duduk di sebuah rumah makan kompleks sekitar lokasi ujian: mengaduk gado-gado didepanku agar bumbu kacangnya merata. Tadi sebenarnya aku ingin makan nasi uduk saja, tapi warung-warung lain sudah terlanjur penuh sesak dengan para peserta lain dan sisanya hanya warung pecel dan gado-gado ini saja yang masih memiliki beberapa space kosong untuk diduduki.
Ketika aku sedangbmembuka mulut dan baru memasukkan satu suapan gado-gado kedalam mulutku, tiba-tiba saja seekor anjing jenis german shepherd berjalan keluar dari dalam warung,  menggonggong disebelah kakiku dan membuatku tersedak. Aku berhenti makan dan mulai terbatuk-batuk. Kepalaku terasa pening dan rasa pedas segera menjalar cepat dari mulut lalu naik menuju rongga hidungku.
Di sesi ujian kedua, karena kejadian yang menimpaku sebelumnya, otakku semakin tidak bisa dipaksa berpikir. Ketika mencoba memecahkan soal-soal itu, aku terus diganggu perasaan risih--entah ini benar atau tidak tapi aku merasa sesuatu telah tersangkut diantara saluran pernafasanku. Daun bayam. Aku mendesah keras. Tidak habis pikir, kenapa belakangan ini hidupku sial sekali.
Segera setelah keluar ruangan, orang-orang memutuskan untuk mencocokkan jawaban mereka dengan jawaban peserta lain yang memiliki kode yang sama atau sekedar mengeluh pada satu sama lain. Ketika aku keluar ruangan, aku tidak ingin apapun selain memutuskan untuk membuat meme.
"Ivy, hey!" Sapa Ririn ketika kita bertemu di toilet. Saat aku dan dia berjalan keluar dari toilet, dia mengajakku ngobrol soal ujian seperti yang dilakukan para peserta lain. "Gimana tadi matematika dasarnya?"
"Sukses," jawabku datar.
"Wiiih keren." Ia takjub. Bertepuk tangan kecil, lalu menambahkan, "Aku aja cuma bisa jawab satu soal."
"Sukses bikin kepalaku mau meledak maksudku," terangku sambil memukul-mukulkan kepalan tanganku ke kepala.
"Yeee dasar." Ia mencibir. Tapi tak lama setelahnya, perempuan berbadan mungil itu bertanya lagi, "Kalo tes potensi akademiknya gimana menurutmu?"
"Gampang lah," jawabku. Masih dengan ekspresi wajah yang datar.
"Demi apa gampang? Aku aja puyeng setengah mati ngerjainnya." Ia berkeluh. Wajahnya terlihat lesu. Aku yakin ujian kali ini benar-benar membuat isi otaknya terkuras.
"Gampang bikin aku stress maksudku." Mendengar jawabanku yang lagi-lagi seperti itu, ia menatapku seolah-olah akan mencekikku setelah ini. "Ivy, Aku lagi serius!!!" teriaknya frustasi. Memangnya siapa yang sedang bercanda? Aku juga sedang serius.

***

Selagi aku berjaga mengawasi pintu--kalau-kalau akan ada pengunjung, mataku tidak ada henti-hentinya mengawasi jarum jam yang hari ini, bagiku, berdetak lebih lambat dari biasanya. Sore ini, pukul lima, pengumuman hasil ujian sudah dapat dilihat di laman resmi di internet.
Selama menunggu pengumuman hasil ujian, aku memutuskan untuk ikut bantu-bantu di toko pakaian milik teman kakakku. Belum ada setengah bulan sejak hari pertamaku kerja, tapi dalam waktu yang sesingkat itu, kakiku sudah seperti sedang bersaing saja dengan kaki pemain sepak bola. Bengkak. Tapi itu bukan sesuatu yang mengherankan karena dari jam delapan pagi sampai setengah enam sore, kerjaanku hanya berdiri terus-menerus. Jarang sekali punya kesempatan untuk duduk, bahkan ketika sedang tidak melayani pelanggan. Paling-paling aku hanya bisa mencuri-curi duduk sebentar ketika semua kerjaan sudah benar-benar beres: baju-baju di gantungan sudah rapi, kain-kain di etalase sudah berada di tempat-tempatnya yang seharusnya--ya yang seperti itulah. Pekerjaan yang cukup melelahkan memang, tapi aku pasti akan merasa suntuk jika hanya menunggu pengumuman sambil menganggur saja di rumah.
Setelah menimbang-nimbang tentang kemampuanku ketika mengerjakan soal saat itu dan menghitung kemungkinanku untuk dapat melampaui passing grade yang ada, aku tidak terlalu optimis kalau aku akan lolos ujian itu. Tapi meski begitu, dalam hatiku yang terdalam, aku masih menyimpan harap.
Pilihan pertama yang kujatuhkan adalah Jogja dan karena aku bingung tentang pilihan terakhirku mau diisi apa, aku asal saja memilih Surakarta. Toh, belum tentu aku akan lulus ujian. Tapi jika aku lulus, aku berharap agar nantinya bisa diterima di Jogja saja, terserah-universitas manapun itu. Soalnya, aku buta sekali soal Surakarta. Aku belum pernah sekalipun pergi kesana dan tidak punya gambaran sama sekali bagaimana akan hidup disana. Sedangkan Jogja, aku sudah sering pergi ke sana dan ada banyak saudara yang bermukim disana. Bahkan jika aku diterima di universitas di Jogja, aku sudah punya gambaran akan tinggal dimana dan bekerja sampingan dimana.
Selepas pulang kerja, badanku lesu sekali. Sambil duduk di beranda rumah, aku masih mencoba mengakses situs pengumuman lewat laptopku sejak setengah jam yang lalu tapi halamannya sedang tidak bisa diakses karena servernya down. Ini terjadi karena terlalu banyak orang yang sedang mengakses halaman yang sama disaat yang bersamaan, atau bisa jadi karena kecepatan modem yang terlalu lamban. Karena merasa kesal dan tidak sabar lagi, aku menutup layar laptopku dengan kasar, masuk ke dalam kamar untuk meletakannya di atas meja lalu berjalan menuju garasi untuk mengambil sepeda. Lebih baik aku pergi ke warnet dengan koneksi cepat saja.
Begitu berada dalam bilik warnet, aku begitu shock melihat pengumuman yang tertera di layar.
Maaf, anda dinyatakan tidak lolos ujian SBMPTN.
"Maaf?" Aku tertawa pahit ketika membaca kata itu lagi. Maaf katanya?
"MAAF JIDATMU!" Umpatku  dengan berteriak pada layar monitor di hadapanku sambil mulai menangis.
Maaf? Hanya seperti itu saja? Segampang itu? Segampang itu petugas ujian menuliskan kata itu di layar orang-orang yang mereka tolak dan mereka pikir kata itu akan menyelesaikan semuanya? Mereka tidak mengerti sekeras apa memperjuangkannya selama ini.
Saat aku sedang dilanda emosi, tiba-tiba saja seseorang mengetuk papan bilikku beberapa kali. Cepat-cepat aku menghapus air mata yang masih menggenangi sudut-sudut mataku.
"Maaf...mbak? Ini bilik saya, tadi lagi saya tinggal ke toilet sebentar," ucapnya hati-hati.
Aku diam sebentar untuk berpikir, lalu perempuan itu berkata sopan, "Bisa tolong pindah ke bilik lain yang masih kosong, mbak?"
Aku menatap perempuan itu lalu menatap ke layar lagi secara bergantian, mengucek-ngucek mataku dan memastikan nomor ujian yang tertera di sana. Bukan. Ternyata itu bukan nomor ujianku.
"Oh--maaf..," kataku sambil bangkit dan keluar bilik yang ternyata sebelum aku datang, sudah punya pemilik itu. Sambil berjalan menuju bilik yang lain, aku menepuk-nepuk dahi sambil mengutuk diriku sendiri: bodoh sekali aku.
Saking lelahnya, aku sampai lupa kalau setibanya di warnet tadi, aku  belum sempat melakukan apa-apa di dalam bilik dan tiba-tiba saja pengumuman sbmptn sudah terpampang di hadapanku. Saking lelahnya sampai-sampai aku tidak menyadari kalau itu adalah halaman hasil tes milik orang lain.
Setelah duduk di sebuah bilik yang sudah kupastikan memang sedang tidak dipakai, aku memastikan nomor yang kuisikan di kolom yang tertera di layar sudah persis sama dengan nomor di kertas yang sedang ku pegang.
Selagi halamannya loading, aku mengguncang-guncang kedua tanganku yang terkepal di depan dada.
Tolong loloskan aku di Jogja, Tuhan. Please, Jogja! Jangan di Surakarta, Tuhan. Please, please, please! Kalau aku lolos, please Jangan loloskan aku di Surakarta.
Loading telah berhenti. Dengan sabar, aku membaca tulisan yang tertera layar dengan hati-hati,"Selamat, Anda dinyatakan lolos ujian seleksi di jurusan Sastra Alay di Universitas Negeri Sesuatu, Surakarta."
Awalnya, aku ingin melompat saking bahagianya, tapi ketika menyadari kalau aku lolos di universitas Surakarta, perasaan bahagiaku berangsur-angsur memuda.
"Su-ra-kar-ta." Ejaku dengan lemas.

BAB 1

BAB 1: Dear Diary
Kemarin, aku baru saja keluar dari pintu gerbang kosanku, bersiap menuju halte bus trans, ketika tiba-tiba saja beberapa mahasiswa yang kutemui di jalan mampu mengeluarkan kekuatan dengan elemen-elemen yang berbeda dari telapak tangannya.
Aku nyaris menghampiri orang asing yang sedang duduk-duduk saja di sekitaran gerbang untuk bertanya sebelum akhirnya seseorang meneriaki namaku dari kejauhan.
"Ivy!"
Aku menghentikan langkah, menoleh pada sumber suara yang datang dari seorang perempuan berambut cepak disemir coklat dengan hem merah berkerah dan skinny jeans ketat yang tengah berlari menghambur ke arahku.
Sebuah bola api hitam sebesar bola kasti yang terbakar oleh kobaran api berwarna merah menyala melayang di atas telapak tangannya.
Aku hanya melongo ditempatku. Menampari kedua pipiku sendiri secara bergantian.
Hari ini, seperti orang-orang aneh disekelilingku, sahabatku di kampus juga memiliki kekuatan super! Apa yang sedang terjadi pada orang-orang ini?
"Bagaimana bisa!?" Pekikku padanya ketika ia sedang mengatur pernapasannya di depanku.
"Maksudmu?" Ia palah bertanya balik padaku.
"Bagaimana telapak tangan kalian bisa menyala dan memancarkan cahaya seperti sinar laser?"
"Ya Tuhan! Kau belum tahu? Kau punya wifi! Kosanmu memasang wifi! Apa saja yang kau lakukan di dalam kamar seharian hah? Kau tak pernah baca berita, huh?"
Tunggu. Tunggu. Aku sedang kebingungan, situasi disekitarku juga sedang membingungkan. Aku butuh jawaban. Tapi orang ini palah terus-terusan balik memberiku pertanyaan tanpa memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Ini benar-benar memusingkan.
"Aku tidak tahu apa-apa. Sungguh! Aku-tidak-tahu-apa-apa. Tolong jelaskan padaku semua yang kau ketahui."
Ia menatapku dengan tatapan seolah berkata-huh-dasar-orang-ini! Ia lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita.
"Kau tahu gubernur baru yang terpilih beberapa waktu yang lalu?"
"Aku kesiangan dan tidak pergi ke TPU saat itu. Tapi sepertinya aku tahu yang mana. Yang potongannya agak mirip Hitler itu?"
"Tepat. Mau kuberitahu rahasia yang kudapat dari pamanku yang menjadi salah satu bawahan dari diktator itu?"
Aku mengangguk-angguk penasaran sambil mendengatkan telingaku padanya.
"Dia itu seorang diktator! Aku dengar dia mulai merubah tatanan kehidupan yang ada dalam masyarakat, mengganti kebijakan-kebijakan lama dengan kebijakan-kebijakan baru yang ia ciptakan untuk kesenangan pribadinya."
"Kau tahu kebijakan baru yang dikhususkannya untuk kalangan mahasiswa seperti kita?"
Aku menggeleng meski dia bukan sedang bertanya tetapi sedang memancingku.
"Yang aku dengar, Uang Kuliah Tunggal, SPP dan segala  jenis pembayaran akan dihapuskan. Biaya kuliah seluruh mahasiswa akan ditanggung oleh negara sepenuhnya."
"Apa kau serius? Bukankah itu berita yang sangat bagus untuk kita?" jawabku antusias.
"Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai!"
"Dia memang akan meniadakan semua biaya perkuliahan, tapi harga dari semua itu adalah kebijakan baru berupa sistem gugur untuk melenyapkan mahasiswa yang kurang kompeten."
"Gantungan pintu yang dipasang petugas setempat ketika mengetuk pintu-pintu kamar kos kita kemarin malam, kau masih ingat? Benda itulah yang sekarang mengantarkan kita di dunia virtual. Di dunia dimana kita bisa membangkitkan kekuatan dari elemen yang paling dominan dalam tubuh kita. Mereka akan mengkondisikan kita agar saling menyerang satu sama lain sampai hanya ada mahasiswa-mahasiswa kompeten sajalah yang tersisa."
"Gila! Ini gila! Ada hal seperti ini dan tidak ada satupun orang berkuasa yang bertindak? Itu mustahil!"
"Gubernur baru itu bukan orang bodoh, Ivy! Dia telah merencanakan segalanya. Se-ga-la-nya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di dunia virtual kecuali orang-orang pemantau yang menjadi bawahan diktator itu. Yang orang-orang tahu adalah kita sedang tertidur panjang di kamar kosan kita masing-masing. Satu persatu dari kita akan mati pelan-pelan tanpa ada yang tahu."
Setelah penjelasan Rin berhenti, angin dingin berhembus melewati tengkukku. Tenggorokanku terasa kering. Napasku tercekat dan wajahku memucat. Keadaan Rin sendiri? Tak jauh berbeda denganku meski ia sudah tahu hal itu lebih dulu.
Aku menggosok belakang leherku pelan. Aku telah sampai pada titik dimana aku tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Setelah keheningan yang panjang, Rin mencoba memulai obrolan, "Ngomong-ngomong dari tadi aku belum tahu elemenmu. Kau pengendali elemen apa?"
"Aku juga tidak tahu?"
Rin dan aku berhenti berjalan. Rin memberikan instruksi bagaimana cara memanggil kekuatan kami. Kuangkat tangan kiriku-karena aku kidal-, mengayunkannya beberapa kali, lalu memfokuskan pikiranku pada telapak tanganku seperti yang Rin ajarkan.
"Bergerak!" Perintahku.
Hening. Aku dan Rin saling pandang. Menunggu sesuatu terjadi.
Aku mengulangi cara itu lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
"Bergerak!!!" Teriakku untuk yang kesekian kalinya.
Tapi nihil. Tidak ada yang terjadi.
Rin mencengkram lenganku yang pipih sambil menatapku dalam. Tatapan matanya menimbulkan perasaan cemas dalam diriku.
"Jangan-jangan...kau tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen?"

Hari ini hari minggu, meski begitu hari ini aku bangun pagi. Dari tempatku berdiri aku mampu mendengar suara-suara teriakan, tertawa, umpatan, dan frustasi. Nyawaku belum terkumpul seluruhnya, jadi aku hanya diam saja ditempatku. Tadi, dua orang petugas pertahanan kompleks-yang lazimnya tak boleh memasuki area kos-kosan perempuan- menggedor-gedor pintu kamarku pagi-pagi sekali. Hanya untuk menggiringku bersama beberapa orang mahasiswa lain menuju bangunan terbengkalai di belakang kelurahan yang arealnya di pagari kawat besi. Di tempat itu aku dikumpulkan bersama beberapa orang mungkin 13 atau 15 mahasiswa yang tak kukenal.
Aku masih mengusap-usap wajahku yang mengantuk ketika seorang anak laki-laki dalam rombongan yang tadi memproklamirkan diri sebagai ketua, segera setelah kami dikumpulkan di tempat ini, menangkap sebuah siluet dari balik seruling yang difungsikannya sebagai teropong.
"Ada yang datang! Ada yang sedang menuju ke tempat ini!" teriak laki-laki yang sepertinya bernama Herman itu-aku menduga dari bordiran di atas saku baju korsa yang dikenakannya.
Ia menekan lingkar sekitaran matanya semakin dekat pada lubang teropong tradisionalnya untuk memperjelas fokus penglihatannya.
Art, senior satu jurusan yang berada dua tingkat di atasku di kampus berlari ke arahnya, merenggut teropong itu dari tangan kurus Herman.
"Calon gubernur yang kalah dalam pemilihan kemarin? Diakah itu? Untuk apa dia datang ke sini?"
Mahasiswa-mahasiswa yang sejak tadi posisinya berpencar kini bersama-sama menghambur mengerubungi mereka berdua. Sementara aku hanya mengekor di belakang mereka. Berada di kerumunan paling luar.
Seseorang datang mengendarai mobil yang : hanya dengan melihatnya sekilas kau bisa tahu kalau itu mobil anti peluru. Ketika laki-laki setengah baya itu keluar dari mobil, aku dan yang lainnya segera menyadari kalau dugaan Herman dan Art memang benar. Orang itu Pak Mir. Calon gubernur yang kalah dalam pemilihan yang lalu.
"Dengar semuanya!" Herman berteriak bagai orator. Teriakannya cukup membuat rasa kantukku pergi dalam sekejap.
"Kita tidak punya gambaran tentang apa yang akan terjadi nanti, maka dari itu kita semua harus siap dan berhati-hati, apapun yang terjadi. Mengerti semuanya?!" Orang-orang megangguk. Aku ikut-ikutan mengangguk saja karena semua orang melakukannya. Di bawah komando Herman, kami patuh seperti bawahan.
Dengan pengawalan ketat di kiri kanan, laki-laki dengan pawakan seperti Inspektur dalam serial detektif conan itu melangkah dengan elegan, memasuki lapangan impres yang dipenuhi atmosfir kesuraman.
Laki-laki itu berdehem. Sepasang mata tajamnya yang meruncing ke samping beredar menatapi kami, "Kalian tahu alasan kalian di kumpulkan disini?"
Ketika pertanyaan itu diajukan, aku satu-satunya orang yang menggeleng diantara mereka. Kebanyakan dari mereka mengangguk, sementara sisanya memilih tak melakukan apa-apa.
Herman, sang jubir, berbicara mewakili kami semua, "Karena kami tidak bisa mengeluarkan elemen dari telapak tangan kami?!"
"Kurang lebih seperti itu."
"Kalian adalah orang-orang sortiran."
"Kalian memang tak bisa menyerang orang lain karena kalian tidak memiliki elemen apapun yang dominan dalam tubuh kalian, tapi keuntungan dari hal itu adalah kalian punya kelebihan untuk membatalkan kekuatan milik orang lain."
"Kalian adalah senjata-senjataku untuk memerangi diktator itu."
"Lagi nulis apa?"
"Eh?" Mendengar suara itu, aku terkesiap lalu cepat-cepat menutup layar laptopku. Suara itu berasal dari seseorang yang menyembulkan kepalanya dari celah jendela yang terbingkai dalam tembok di sebelah bangku yang tengah ku duduki.
"Kamu lagi nulis apaan sih?" Ulangnya lagi. Kini Lin, perempuan berwajah oriental berambut merah kusut-karena terlalu sering di semir-itu menyandarkan dagunya pada bingkai jendela. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai kayu itu.
"Eh? Aku--enggak-bukan. Maksudku bukan apa-apa kok," kataku kemudian yang segera ditanggapinya dengan oh panjang dan diiringi anggukan, tak berusaha bertanya lebih jauh tentang apa yang kutulis.
"Ke kantin yuk, vy," ajaknya padaku, berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia segera ingat kalau aku bukan tipe orang yang merasa nyaman jika ditanyai lebih lanjut tentang kegemaranku yang satu itu. Di sela-sela pelajaran yang membosankan, Lin sering mempergoki aku sedang mencorat-coret bukuku dengan tulisan-tulisan yang random dan jika dia bertanya soal apa yang sedang kutulis, aku selalu bilang 'bukan apa-apa' dan langsung mengalihkan pembicaraan. Meski dia tidak mengerti, tapi dia selalu berusaha memahamiku. Itulah kenapa aku suka berteman dengannya.
Tadi, sebenarnya aku sedang menulis fanfiction. Aku memang suka menulis fanfiction. Aku bukan orang yang pandai berbicara, apalagi bicara masalah perasaan, itulah kenapa aku suka menulis. Aku bisa mengatakan apapun yang ada didalam hati dab kepalaku tanpa mengeluarkan suara. Aku memang menulis hanya untuk iseng, tapi kadang-kadang keinginan untuk menjadi penulis masih terselip di hatiku. Kakakku tak pernah suka jika aku menulis. Jika dia tahu aku masih suka menulis sampai sekarang, dia pasti akan memarahiku habis-habisan. Mungkin karena itu, aku jadi suka menulis sembunyi-sembunyi, meski sedang tidak ada kakakku disekitarku. Aku pernah berkata padanya ingin jadi jurnalis. Tapi begitu mendengarnya, ia palah menangis. Setelah itu, aku tak pernah menyinggung-nyinggung soal impianku lagi di depannya.
Sembari membantuku memasukkan alat tulisku yang berserakan di atas meja, Lin merajuk padaku, "Jangan menyendiri di kelas kayak gini dong."
"Ini kan hari pengambilan ijazah. Besok besok pasti kita udah bakalan jarang bisa ketemu kaya sekarang. Ikut aku ngumpul sama temen-temen yang lain yuk? Ngobrolin apa gitu. Anak-anak yang lain lagi pada nongkrong di kantin."
Aku menghela napas panjang setelah mendegar ocehannya "Iyadeh, iya," ucapku tanpa semangat sambil memasukkan laptop ke dalam tas gendongku, sementara file holder berwarna biru tua yang didalamnya terdapat ijazah, transkrip nilai, beberapa lembar sertifikat, dan buku tahunan itu kubawa dengan sebelah tanganku dan mengapitkannya ke dada. Pagi ini, segera setelah kakakku keluar dari kantor, benda ini sukses membuatku kenyang dengan omelan-omelan yang di lontarkan kakak di toilet. Aku tidak bisa berkata apapun apalagi membela diri ketika melihat wajahnya yang sudah begitu frustasi. Aku tahu dia sudah lelah mengurusku seorang diri selama ini dan pagi ini apa yang ia dapatkan? Orang yang dia urus dengan susah payah selama ini palah mencetak ijazah dengan skor-skor yang payah.
"Ayo, cepetan!" Perempuan berambut keriting gantung itu menyeretku keluar dari kelas, tak sabar melihat caraku berjalan yang hari ini begitu lamban.
Sesampainya di kantin, Lin segera menggerutu begitu melihat populasi orang-orang yang disana telah berkurang sejak ditinggalnya pergi memanggilku di kelas untuk mengajak bergabung. "Yah, kan udah pada pulang. Kamu kelamaan sih." Ia mendesah. Sekarang hanya tinggal dua orang teman sekelas kami yang masih duduk-duduk saja di katin. Menghabiskan gorengan hangat milik Bu Sugeng yang tersaji di meja makan.
"Si Lesbian, kemana aja dari tadi? Dicariin nggak nongol-nongol di kantin," gurau Jessica padaku, menyengol lenganku dengan sikunya.
"Lesbi jidatmu." Aku menoyor dahinya, tapi perempuan itu hanya tertawa. Mungkin dia merasa puas jika ledeka nya mampu membuat raut sebal terbentuk di wajahku.
Hanya karena aku tidak pernah terlihat dekat dengan anak laki-laki di STM dan tak pernah membicarakan laki-laki tampan di sekolah kami, teman-teman sekelasku membercandai aku dengan julukan lesbian. Awalnya aku memang marah, tapi kini aku sudah terbiasa dengan itu. Ku akui aku memang tidak pernah dekat dengan lelaki dari kelas manapun di sekolahku selama ini, tapi aku bukan lesbi. Aku hanya belum pernah pacaran. Aku dapat berkata dengan yakin kalau aku normal karena sebenarnya, aku pernah menyukai seorang anak laki-laki teman sekelasku di SMP dulu dan--entahlah, mungkin sampai sekarang, aku masih menyukainya. Aku juga tidak tahu dan tidak lagi mau tahu soal bagaimana perasaanku padanya kini.
"Gimana nilai-nilai di Ijazah kalian?" Tanya Fira pada kami bertiga segera setelah minuman pesanan kami bertiga datang.
Jessica mengusap-usap dahinya yang selebar lapangan golf itu. Dia terlihat pusing. "Kampret. Nilai-nilai di Ijazahku hancur tak berbentuk."
"Kalo kalian gimana?"
"Punyaku lumayan sih, aku kan udah ikut les sebelum ujian, jadi agak bisa dikit waktu ngerjain soal kemaren," kata Fira sambil menggigit roti piscok yang baru diambilnya dari nampan di depannya.
"Punyaku juga mendingan nilainya." Lin menimpali.
"Iyalah, kalian kan emang udah pinter dari dulu-dulu." Aku menyeletuk. Memang begitulah kenyataannya. Meski kami berempat berteman dekat tapi nasib kami benar-benar berbeda. Fira dan Lin tak pernah tak masuk peringkat lima besar di kelas, sementara aku dan Jessica, nasib kami mengenaskan. Kalau sedang beruntung, kami bisa berada di peringkat tengah-tengah, tapi biasanya, kami selalu berada di peringkat sepuluh terbawah di kelas.
"Kalo nilaimu gimana vy?" Tanya Fira kemudian.
"Ya gitulah. Paling juga berapa. Nggak tega aku liatnya." Sejak kakakku menyerahkan file holder ini padaku sebelum dia pulang, aku belum pernah sekalipun membukanya sampai sekarang. Suara omelan kakakku dan ancaman yang dikatakannya tadi bahkan masih terngiang-ngiang di telingaku sampai sekarang. Kusandarkan kepalaku diatas meja kantin yang permukaannya agak lembab. Pelipisku berdenyut-denyut keras. Rasanya kepalaku begitu sakit seakan mau meledak.
"Oya, kalo kalian mau makan pesen aja. Nanti aku yang bayar, deh."
Aku, Jessica dan Lin kini menatap Fira heran secara bersamaan. Tapi kemudian Jessica bertanya mewakili kami berdua, "Tumben banget. Kesambet apa kamu sampai mau nraktir kita-kita?"
"Jadi gini ceritanya, aku diterima kerja di PT idamanku dengan posisi yang kuinginkan. Aku lagi seneng banget, makanya aku mau bagi kebahagiaanku ke kalian. Aku kurang baik apa coba?" Fira tertawa sesumbar.
"Wah, kamu udah ketrima kerja? Secepat ini? Sial. Enak banget." Lin mendesah, "Aku masih nunggu panggilan, entah sampai kapan."
"Aku juga," keluh Jessica. Sementara aku, aku hanya membentur-benturkan kepalaku di atas meja.
"Kamu kenapa sih vy? Lagi tertekan banget keliatannya." tegur Fira ketika menyadari ekspresi wajahku yang kusut begitu mereka membicarakan soal pekerjaan.
"Aku stress," kataku lesu. Kali ini aku sudah berhenti membentur2kan dahiku ke atas meja. Awalnya tidak berasa apa-apa tapi lama-lama rasanya sakit juga.
Jessica merapatkan kursinya padaku. "Kenapa sih? Cerita dong sama kita."
"Aku nggak tau apa yang harus kulakukan setelah lulus kaya sekarang. Kepalaku sakit saat dipaksa mikir soal masa depan. Aku nggak tau mau dikemanakan hidupku setelah ini. Aku harus gimana?" Terangku pada mereka. Aku yakin kalau kali ini, suaraku terdengar putus asa.
Lin terlihat berpikir sebentar lalu berkata, "Kamu kerja aja kaya kita-kita. Anak lulusan STM kaya kita kan tujuannya emang setelah lulus langsung kerja kan?"
"PT mana lagi yang harus aku kirimin surat lamaran, Lin? Aku udah ngelamar dimana-mana dan nggak ada satupun dari PT-PT itu yang menyatakan aku lolos. Mataku udah minus banyak." Keluhku sedih. Tidak tahu pabrik mana lagi yang harus kukirimi surat lamaran pekerjaan. Aku sendiri tahu dengan jelas alasan mereka menolakku : pabrik-pabrik industri tidak bisa mempekerjakan pegawai yang minus matanya sudah lebih dari tiga. Di samping itu, juga tidak dapat dipungkiri kalau nilai raporku terlalu pas-pasan.
"Gimana kalo kamu nikah aja?" Celetuk Fira tiba-tiba, membuat Lin dan Jessica seketika tertawa. Aku sendiri hanya menepuk dahi mendengarnya. Menyarankan untuk menikah pada jomblo desperate sepertiku adalah sesuatu yang menggelikan.
"Yaelah, nikah sama siapa coba?" Tanyaku pada Fira. Pertanyaan yang lebih cocok kuajukan pada diriku sendiri sebenarnya.
Aku meneruskan, "Lagipula, cowok mana yang mau nikah sama cewek yang judes, jutek, manja, rempong hidupnya, suka pilih-pilih makanan, nggak bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, nggak bisa masak pula."
Setelah aku selesai berkata-kata, kini ketiga sahabatku menatapku bersamaan dengan ekspresi seolah-olah sedang berkata-kau benar-benar orang yang tidak punya harapan.
"Kalo gitu kamu nerusin kuliah aja, gimana?" usul Jessica. Aku menatapnya tidak percaya, tidak biasanya dia berkata benar seperti itu. Biasanya yang keluar dari mulutnya hanya candaan.
Aku mendesah panjang, "Pengennya sih gitu, tapi kakakku cuma mau ngebiayain kuliahku kalo aku keterima di Perguruan Tinggi Negeri. Kan susah buat masuk PTN."
"Emang kenapa kalo di universitas swasta?"
"Dia bilang biayanya mahal, Jess."
"Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa nanti?"
"Beasiswa? Dengan nilai ancur kaya gini? Siapa yang mau ngasih, Lin?"
"Kalo kamu nggak kerja, nggak nikah, dan nggak kuliah, terus kamu mau ngapain?"
"Kakakku bilang, dia bakal ngirim aku jadi TKW ke Arab. Jadi pembantu."
"What? Pembantu vy? Hell, no!"
Ya. Pembantu. Membayangkannya saja aku sudah ingin menangis.
"Nggak mungkin lah, masa kakakmu sekejam itu?" Ya. Kenyataannya dia memang sekejam itu kepadaku. Aku ini adik kandungnya, tapi dia memperlakukanku seperti anak tiri saja.
"Entahlah, mungkin dia udah hopeless sama aku."
"Gimana kalo kamu nanti disiksa?" Mendengar Lin mengatakan itu, gambaran tentang majikan yang sedang menyetrika wajah pembantunya terbayang dibenakku. Tidak. Tidak. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu.
Belum selesai membayangkan tentang wajah yang disetrika, Jessica palah tambah menakut-nakutiku dengan berkata, "Gimana kalo kamu kebagian majikan yang mesum vy? Bisa-bisa kamu pulang ke Indonesia sambil gendong bayi kaya yang di berita-berita."
"Stop! Stop! Stooop!" Teriakku sambil menyumpalkan kedua tanganku ditelinga. Tidak bisa. Tidak boleh. Tidak mau. Aku tidak mau jadi pembantu.
Aku menengadah, kulihat medung sudah menggelayut di langit, menggantikan birunya langit dengan gumpalan awan berwarna abu-abu pekat. Angin sore yang berhembus kencang kini bertiup menimpa tubuhku. Dapat kurasakan tubuhku yang mulai menggigil dan sudah hampir membeku. Sambil mempercepat langkahku, aku langsung melangkahkan kakiku masuk ke supermarket sebelah sekolahku. Sebenarnya tadi setelah dari kantin, aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi belanja bersama-sama dan ke tempat karaoke dulu sebelumnya. Tapi setelah dari tempat karaoke, ibu Fira menelponnya untuk segera pulang dan mengantarnya pergi kondagan. Sementara Lin, dia cepat-cepat pergi karena dia harus ke tempat kerja part timenya di sebuah kafe. Kalau Jessica, pacarnya menjemputnya sebelum kami sempat masuk ke tempat karaoke. Akhirnya, beginilah aku sekarang, pergi belanja seorang diri karena orang-orang itu sudah pergi.
Dengan seksama, aku memperhatikan merk-merk susu yang ada dalam rak. Mataku tidak pernah luput beralih dari satu merk susu ke merk yang lain, membuatku tidak menyadari keberadaan orang-orang disekitarku. Aku mendesah. Aku belum menemukan merk susu penggemuk badan yang kucari. Tapi aku tidak mau menyerah. Mataku terus berkeliling. Dengan sudut mataku, aku masih mencari merk susu yang kuinginkan. "Ketemu!" Aku segera tersenyum puas ketika mendapati susu itu terselip di ujung rak. Aku mengulurkan tanganku, berusaha meraih susu penggemuk badan yang tinggal satu-satunya itu, tapi gerakanku seketika terhenti saat uluran tangan dengan jari-jari yang panjang telah mengambilnya terlebih dahulu. Aku mendesah kecewa, lalu menoleh ke arah pemilik tangan yang urat-uratnya menonjol itu.
Seorang laki-laki berkulit cokelat yang sedang tersenyum begitu manis.
Seolah menyadari kalau sosoknya sedang diperhatikan, laki-laki itu pun menoleh. Dan seketika itu juga, senyum yang begitu manis terkembang di wajahnya. Sedangkan aku, tubuhku tiba-tiba menegang dan membeku dalam posisiku.
Aku bisa melihat sosok tinggi itu kini menatapku dengan wajah yang masih tersenyum cerah.
"Ivy...? Ivy kan?" Tegurnya padaku. 
"L-light?" Aku mendapati mulutku yang tiba-tiba bergumam sangat pelan dengan suara bergetar. Laki-laki yang selama ini berusaha kuhindari saat ini tengah berdiri tepat dihadapanku.
Ia menepuk bahuku, masih dengan senyum tak percaya. "Kamu apa kabar?"

Monolog

MONOLOG


Aku sadar sepenuhnya kalau aku hidup di dalam kenyataan.  Di dunia dimana ekspektasi tak pernah sejalan dengan kenyataan di lapangan. Aku bukan Alice dan takkan pernah jadi seperti Alice yang dapat merasakan seperti apa rasanya tersesat di Wonderland. Aku adalah penggila serial drama yang sedang berusaha menahan diri untuk tak lagi terlalu banyak menonton drama Korea. Karena sebanyak apapun drama yang kutonton, itu takkan membuat takdirku berubah menjadi seindah takdir seorang perempuan bernama yah, sebut saja Geum Jan Di.
Aku masih ingat sekali, adegan dari drama Boys Before Flower yang dialognya paling kusukai. Ketika Geum Jan Di berkata pada Go Jun Pyo, "Aku tidak cantik, aku tidak kaya, aku tidak pintar. Kenapa kau menyukaiku?"
Dan Go Jun Pyo menimpali, "Aku tampan, aku kaya dan aku pintar. Apa lagi yang kubutuhkan?"
Pertanyaanku adalah, adakah laki-laki seperti dia di dunia ini? Entahlah. Mungkin ada. Entah di belahan bumi bagian mana. Hanya saja, kalaupun ada, mungkin bukan untuk perempuan sepertiku. Apalah aku yang cuma butiran busa si lautan.  Aku hanya seorang perempuan biasa yang berasal dari kalangan biasa yang menjalani kehidupan yang sangat biasa dan berada di lingkungan hidup yang biasa-biasa saja.
Meski aku menjalani kehidupan dari sudut pandangku, aku selalu merasa bahwa di hidup keseharianku yang tampak seperti potongan serial drama ini, aku tak pernah merasa berperan menjadi tokoh utama. Meski aku ingin jadi tokoh utama, aku selalu berakhir dengan jatuh di serial drama orang lain dan hanya menjadi cameo disana. Figuran. Tokoh sampingan. Tokoh yang hanya kadang-kadang muncul dicerita dengan porsi yang sedikit dan tak diberi ending yang jelas seperti cerita milik tokoh utama.
Tidak peduli soal urusan romantika, perkuliahan, dan kehidupan sehari-hari, semua peran yang kujalani tak lebih dari porsi milik tokoh figuran, meski aku berperan di kehidupanku sendiri.
Meski begitu, kadang-kadang aku masih tergerak untuk mencari bukti. Bukti kalau aku adalah tokoh utama di kehidupanku sendiri.
Kadang-kadang aku bahkan mengetikkan namaku di mesin pencarian. Bukan apa-apa, hanya iseng. Siapa tahu suatu hari nanti namaku bisa muncul di urutan satu halaman pertama pencarian, tercantum dalam topik yang membanggakan. Tapi hari seperti itu sepertinya takkan pernah datang. Hari ini saja, namaku hanya baru bisa kutemui di halaman lima. Itu saja berkat daftar nilai ujian  tiap semester yang hanya bisa dilihat di internet. Tidak ada yang membanggakan disana. Aku hanya seorang mahasiswi bahasa yang biasa berada di peringkat kedua. Dari-bawah.
Aku hampir saja menyatakan diri sebagai tokoh utama di topik percintaan hidupku setelah menyadari kalau laki-laki dari jurusan sebelah yang kusukai sejak permulaan semester tak pernah tidak tersenyum ketika melihatku. Perempuan yang pernah berjuang bersamanya di hari-hari ospek. Dia laki-laki yang selalu tertawa dengan candaanku yang meskipun bagi orang lain terdengar garing di telinga. Orang yang tak pernah ragu-ragu untuk melambaikan tangannya padaku jika kami tak sengaja berpapasan di jalan. Dan tak segan mengajakku berbicara basa-basi di sela-sela perkumpulan unit kegiatan mahasiswa.
Tapi semua bukti yang mampu kujadikan acuan untuk menganggap diriku sendiri tokoh utama itu langsung terbantahkan ketika aku tengah dibuat menggigil oleh derai air hujan, lalu tiba-tiba saja melihatnya melintas didepanku sambil memboncengi perempuan di hari hujan. Perempuan itu melambai padaku, sambil memberi tanda dengan tangannya bahwa dia akan menghubungiku setelah ini. Jadi dia, laki-laki yang pernah dikatakan teman dekat perempuanku itu.
Di bawah tempat perlindungan hujan, aku menangis tak tertahankan. Kupikir kali ini, aku bisa jadi tokoh utama. Tapi tidak. Lagi-lagi, aku harus menjadi second lead female yang harus menyaksikan dua tokoh utama bersatu dengan hati yang patah. Ini tak ada bedanya dengan kisah cintaku yang kemarin, dan kemarinnya lagi. Dan aku sendiri tidak tahu, akan terus menjadi perempuan seperti ini sampai kapan.
Ini adalah diaryku, satu-satunya dunia dimana aku bisa menjadi tokoh utama didalamnya. Ini diaryku. Bagaimana dengan diarymu?

Senin, 18 Januari 2016

BAB 16: Jodoh: Kepingan Puzzle Yang Hilang

BAB 16: Jodoh: Kepingan Puzzle yang hilang

"Ada apa kesini?"
"Yah, sebenernya aku nggak percaya sama dugaanmu kalau aku bakal ketemu jodohku tahun ini. Tapi dugaanmu membuatku banyak berharap. Yah, cukup memberiku banyak harapan. Meski pada akhirnya sampai akhir tahunpun tidak ada yang datang. Tapi aku ingin berterimakasih padamu karena telah membuatku menjadi perempuan yang lebih baik untuk jodohku nanti."
"Bagaimana kalau kubilang jodohmu ada disini. Apa kau mau percaya?"
"Apa maksudmu?"
"Bagaimana kalau kubilang aku adalah orang itu, apa kau bersedia menerima dia?"

BAB 15: Muvon

🍂Muvon🍂
Aku ingin tertawa. Tidak tahu kenapa, lucu saja bagiku. Rasanya seperti baru kemarin, aku dan dia berebut buku perpustakaan, berebut sapu piket, berebut bangku untuk duduk, kita berebut banyak hal. Aku ingat sekali betapa isengnya dia waktu kita berada di kelas tujuh sampai-sampai aku memukul punggungnya dengan buku cetak dan kemudian dia jatuh sakit. Dia selalu menggangguku, apapun yang kulakukan. Dia merebut bolpoinku ketika aku sedang menulis. Dia menyembunyikan tip-xku dengan sengaja ketika aku benar-benar butuh. Waktu itu aku merasa, dia benar-benar anak laki-laki yang super menyebalkan. Jadi aku mengacuhkannya, dan perlahan hubungan pertemanan kita mulai menjadi jauh. Dia selalu buang muka jika berpapasan denganku di jalan, dan aku tak pernah ada niatan untuk memanggilnya duluan. Kita benar-benar seperti orang asing. Dan ketika kelas delapan, saat aku tak lagi berada satu kelas dengannya, aku mulai merasa aku merindukannya.
Aku pernah memimpikan hal ini sebelumnya. Duduk berdua saja dengannya, membicarakan apa saja bersamanya, dan tertawa lepas bersama-sama.
#Tokoh utama cerita gimana dia dulu suka banget sama dia tp semuanya berubah. Tokoh utama menolak cinta pertamanya untuk laki-laki yang belum jelas perasaannya.

Dia masih orang yang sama. Dia masih laki-laki yang pernah kusukai pertama kali di sekolah menengah pertama. Akupun masih sama saja. Aku masih teman perempuan sekelasnya yang pernah diam-diam menyukainya. Kemarin-kemarin aku juga masih menganggap kalau belum ada satupun yang berubah diantara kita. Tapi ternyata aku salah. Perasaanku padanya tak lagi sama. Perasaanku padanya telah berbeda.

"Dari awal kita berteman, aku selalu merasa kalau dari sekian banyak teman perempuan yang kau punya, aku hanya salah satu dari teman biasa lainnya. Meski kita berada di kelas yang berbeda setelahnya, aku masih sering memikirkanmu. Tapi aku tidak yakin kau pernah memikirkanku juga. Karena ketika kita bertemu, aku selalu jadi orang yang menunggu, tapi kau tak pernah tergerak untuk menyapaku duluan. Aku ingin kau teringat padaku sesekali. Itulah kenapa aku selalu berusaha untuk berada di peringkat atas, hanya karena aku ingin tampak di matamu."
"Dari saat itu aku tidak pernah melihat laki-laki lain karena laki-laki yang kuharapkan hanya kamu."
"Lalu?"
"Lalu hari itu datang. Hari ketika aku menitipkan surat pernyataan cintaku pada sahabatku dan dihadapanmu, dia palah mengakui kalau surat itu darinya untukmu. Aku sakit hati sekali. Padahal aku begitu mempercayainya."
"Lama aku tidak berbicara dengannya. Hubungan kami jadi buruk. Aku yang tersakiti disini. Tapi tidak tahu kenapa palah aku yang harus minta maaf duluan. Aku memintanya untuk jujur padamu tentang semuanya. Tapi ketika semuanya telah jelas, kau tidak bisa memutuskan untuk memilih siapa diantara aku dan sahabatku. Itulah kenapa dulu aku memutuskan untuk menyerah memperjuangkanmu, aku bukanlah pilihan. Jika kau bingung antara aku dengan orang lain, tolong jangan pilih aku."
"Jadi bagaimana?"
"Aku tidak bisa menerima ini."
"Kenapa? Kenapa begitu? Katamu kau menyukaiku sejak lama? Lagipula itu semua sudah jadi masa lalu. Sudah saatnya bagi kita buat memulai cerita yang baru."
"Awalnya aku juga mengira kalau aku masih memiliki perasaan itu. Tapi ketika kita duduk berdua seperti ini, ngobrol berdua seperti ini, aku menyadari kalau perasaanku padamu, juga sudah jadi masa lalu."

Aku teringat hukum kekekalan energi yang dengan iseng kuubah menjadi hukum kekekalan cinta di sela-sela pelajaran ipa yang bagiku terasa sangat membosankan.
"Cinta itu tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, cinta hanya dapat dipindahkan dari satu hati ke hati yang lain." Hukum itu akhirnya berlaku di hidupku. Tapi di waktu yang tidak tepat.
Hari ini, aku menolak cinta pertamaku. Aku menolak cinta pertamaku hanya karena aku merasa kalau perasaanku telah beralih pada seorang laki-laki yang tak jelas bagaimana perasaannya terhadapku. Aku menolak dia hanya untuk lelaki yang seperti itu. Bodoh. Aku bodoh sekali.
#Mas TI pergi magang jauh ke Jepang.
Pamit pulang duluan ke crushnya soalnya mau liat mas Sebastian pergi di bandara buat yang terakhir kalinya.
Dia liat pas mas Sebastian keluar dari taksi, ngeluarin barang-barang dibantuin sama temen-temen kosnya, tapi dia nggak menghampiri mereka. Dia cuma liat dari suatu tempat di sekitar sana. Di halte, mas Sebastian telepon.
"Lagi dimana?"
"Di jalan mas, kenapa?"
"Bisa nemuin aku sebentar nggak di Bandara? Aku mau berangkat."
"Oh...anu, maaf mas aku nggak bisa."
"..."
"Mas?"
"Kok diem aja?"
"Iya? Iya maaf ini tadi lagi nggak fokus. Kenapa tadi kamu bilang nggak bisa ya?"
"Iya mas, aku nggak bisa."
"Lagi jalan sama gebetanmu ya?" Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan tertawa.
"Cie yang lagi seneng."
"Yaudah kalo nggak sempet kesini. Mas cuma mau ngomong doang kok ke kamu."
"Jangan kebanyakan minum kopi ya. Jangan keseringan minum cola sama minum-minuman bersoda lainnya. Begadang boleh, tapi jangan tiap hari juga. Kuliah yang bener, kurangin bolosannya. Katanya mau nerusin kuliah di Jepang? Jaga diri baik-baik. Kabarin mas kalo ada apa-apa."
"Baru kali ini denger mas Sebastian ngomong banyak. Mas bisa rewel juga ya."
"Kamu ini. Yaudah, gitu aja. Oya, oya satu lagi. Sukses ya, buat hubungannya. Pokoknya apapun yang terjadi nanti, mas doain yang terbaik buat kamu."
"Iya iya, makasih mas. Udah mas nggak perlu kawatir. Udah ada yang jagain aku kok disini. Aku juga udah lumayan bisa ngurus diriku sendiri. Mas yang semangat ya! Ganbatte kudasai!"

BAB 14: Galau

BAB 14: 🍁Galau🍁
Aku menemukannya di sudut  ruang SAT dengan telinga tertutupi headphone. Dia sedang fokus melihat layar monitor sambil menekan-nekan mouse dan keyboard dengan antusias.
Aku berniat menepuk pundaknya untuk memberitahu kalau aku ada disana, tapi aku menarik tanganku kembali sebelum sempat menyentuh bahunya. Aku tidak ingin mengganggu kesenangannya.
Setelah menunggunya cukup lama di bangku sebelahnya-ia bahkan tidak sadar aku duduk di sebelahnya sejak tadi-aku memutuskan untuk pulang saja dan menemuinya kapan-kapan.
"Yay! Aku menaaang!" teriakan itu tak membuat orang-orang di SAT menoleh karena berteriak-teriak seperti itu ketika bermain game di dalam SAT adalah hal yang biasa. Tapi teriakan itu membuat langkahku terhenti di dekat pintu keluar.
Aku menoleh pada sumber suara. Entah hanya kebetulan saja atau apa, laki-laki pemilik sumber suara itu menoleh padaku juga.
"Dek Va?! Dari tadi di SAT juga?  Ngapain?"
"Iya mas. Dari tadi aku di SAT. Nggak ngapa-ngapain. Cuma kepengin ketemu kamu aja." Itu yang ingin kukatakan padanya.
"Iya mas, download drama. Stok filmku buat di tonton di kosan udah abis." Tapi, hanya itu yang bisa kukatakan.
"Sini, temenin mas main game. Mas punya cemilan."
Aku ingin kabur dari tempat ini sekarang juga. Aku tak bisa berada lama-lama didekatnya. Akhir-akhir ini aku tak bisa bersikap biasa saja di depannya. Perasaanku lepas kontrol. Tapi pada akhirnya, aku mendatanginya juga. Aku tidak mau dia merasa kalau sikapku belakangan ini mulai berbeda.
"Mas," panggilku. Ia menoleh, melepas headphone dari kepalanya. "Hn?"
"Mas Sebastian mau pergi magang di tempat yang jauh ya?" Tanyaku. Tidak tahu kenapa aku mendadak sekepo ini tentang kehidupannya.
"Eh, kok tau?"
"Nggak sengaja denger dari temen kosan mas."
"Ooh gitu. Iya, mas dapet tawaran magang di Jepang dari kenalan omnya mas."
"Maaf ya, mas belum sempet cerita, kamu palah udah denger dulu dari orang lain."
"Nggak papa. Mas kapan berangkatnya?"
"Mmm belum tau, mungkin minggu depan atau depannya lagi. Belum jelas kapan. Banyak banget hal yang masih harus mas urus disini." Mendengar penjelasannya, aku hanya mengangguk-angguk.
"Mas minta maaf ya, untuk sementara mas nggak bisa bantuin kamu dulu. Tapi mas janji, mas janji kalau mas udah pulang, mas bakal bantuin kamu lagi. Nanti pas mas pergi, mas bakal minta ke CEO buat nggantiin aku sementara sama temenku."
"Nggak perlu minta maaf kali mas. Aku yang mau minta maaf sama mas karena udah banyak ngerepotin mas selama ini, padahal bayaranku ke mas nggak seberapa."
"Oya mas, sebenernya aku besok mau ngomong sesuatu sama mas. Tapi karena kita udah terlanjur disini, yaudah aku ngomong sekarang aja. Makasih ya mas udah bantu aku banyak hal selama ini. Mulai besok, mas nggak perlu bantuin aku lagi."
"Kenapa? Kamu marah ya sama mas?"
"Nggak kok mas, tapi aku ngerasa aku udah cukup ngerepotin mas selama ini. Aku nggak boleh tergantung sama bantuan mas. Mas punya kehidupan mas sendiri yang perlu mas urusin."
"Tapi mas nggak pernah ngerasa direpotin sama kamu, dek."
"Mas dengerin aku dulu. Mas inget cowok yang pernah aku ceritain dulu? Dia udah janji ke aku kalau dia yang bakal jagain aku mulai sekarang. Mas nggak perlu khawatirin aku lagi."

BAB 13: Baper: Antara Baper dan Laper

😞 Baper: Antara Baper dan Laper 😔

BAB 12: Reuni: Ajang Temu Kangen atau Temu Pamer?

BAB 12: Reuni: Ajang Temu Kangen atau Temu Pamer?
“Mia, bener kan rumah makannya di daerah deket taman palagan?” Aku tahu suaraku terdengar khawatir.
Aku sedang berada di dalam taksi yang membawaku menuju rumah makan yang menjadi tempat reuni angakatanku semasa SMP. Setelah berputar-putar di daerah sekitar palagan, rumah makan itu masih belum dapat ku temukan juga.  Aku punya phobia takut tersesat. Belum lagi ketika aku kepikiran bagaimana reaksi teman-teman ketika aku bilang aku tak datang membawa seseorang yang sudah kujanjikan. Aku tidak bisa menekan perasaan cemas di hatiku.
“Iya. Tapi nama rumah makannya aku lupa, vy. Kamu udah sampai mana?”tanya Mia dari ujung telepon.
Aku masih mengedarkan pandanganku ke luar kaca yang terkena derai-derai air. Di luar hujan cukup lebat.
”Aku juga lupa. Aku ingetnya cuma pas dikasih tau rumah makannya dipinggiran sawah terus banyak saung-saungnya, bener nggak?” tanyaku sambil menggigit bibir bawahku untuk mengurangi rasa cemas.
“Iya, bener. Eh ini Rizki udah jemput di luar, nanti aku kabarin kalo aku udah tau nama restorannya ya, see ya."
      “Ivy!” teriak sosok yang sepertinya adalah Mia dari depan rumah makan. Ia dan seseorang disampingnya-mungkin Rizki- melambai ke arahku. Aku kelupaan memakai kontak lensa, rasanya mataku buram sekali. Tadi, butuh waktu beberapa saat untuk mengenali perawakan mereka berdua.
Segera setelah turun dari taksi, aku menutupkan jaket ke kepalaku lalu  berlari menghambur ke arah mereka berdua. "Mia! Rizki!"
Setelah ngobrol lumayan lama di depan restoran, Aku, Mia dan Rizki memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman yang lain di dalam restoran dan segera di sambut  Dika, salah satu teman sekelasku yang pernah menjabat sebagai ketua kelas, tapi mengaku dirinya sebagai kepala sekolah dan bercita-cita jadi presiden, langsung mengantarkan kami ke salah satu saung di pinggir sawah yang sedang menampung anak-anak dari kelas kami.
Restoran itu cukup ramai, lampu-lampu minyak yang terpasang disetiap saung menyala redup, menciptakan suasana remang-remang yang damai dan menenangkan, selain suara percakapan yang sengaja dilakukan keras-keras, terdengar alunan lembut musik jaz. Ada banyak tamu yang terlihat dan itu bukan hal yang mengherankan. Ini adalah akhir semester dan acara reuni sudah pasti sedang marak.
"Rizki! Ivy! Mia! Sebelah sini!" Seorang perempuan bertubuh gembul melambai-lambai dengan semangat ke arah kami.
"Mami Luhan! Ya ampun!" Sesampainya didalam saung, aku langsung memeluk Zahra, perempuan gembul yang kupanggil Mami Luhan itu.
"Bunda Sehun apa kabar? Lama banget nggak ngerumpi k-pop bareng. Kangen banget, aigoo." Dia membalas pelukanku begitu erat sampai aku nyaris sesak napas.
"Kabarku biasa aja lah Mam, masih kaya yang kemaren-kemaren." Candaku sambil tertawa.
"Kita-kita nggak disapa nih?" Abdul, dengan gaya ngondeknya yang masih seperti dulu, menyela pembicaraan kami.
"Abdul, Faiz, Aji, hei kalian apa kabar? Long time no see!" Kataku dengan sedikit rasa bersalah karena tidak menyapa mereka. Aku tidak sadar jika mereka berada di sana.
"Ivy, Masih hidup aja lu vy. Nggak pernah ada kabarnya. Kirain..."
"Jahat." Aku meninju bahu Faiz. Kami terkekeh.
"Ya iyalah aku masih hidup. Kirain apaan?" Balasku dengan sebal.
"Ya kirain udah mati...hapenya loh ya hapenya yang mati." Ucap Abdul yang membuat kami teringat saat ada teman yang absen di kelas dulu. Jika guru sedang mengabsen dan seseorang tidak berangkat, guru akan bertanya kenapa dia tidak berangkat. Abdul selalu menjawab mati...hapenya.
Kami mengobrol banyak, bernostalgia, tertawa, ini tidak semembosankan yang aku kira. Mungkin juga karena faktor aku bersama orang-orang yang mengenalku dan mau mengajakku bergabung dengan mereka. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika mereka tidak datang. Mungkin aku akan berbicara dengan tumbuhan lagi seperti saat ospek. Aku juga sedikit lega mengingat fakta bahwa sejak tadi mereka tidak menyinggung sama sekali soal laki-laki di foto dulu. Irene dan Light juga belum terlihat sejak aku datang. Dalam hati aku berharap agar mereka tidak usah datang.
“Wah, pemandangan malam dari sini bagus banget!”  aku bergumam senang ketika melihat keluar saung. Angin malam yang bertiup lembut diantara pepadian, bertiup ke wajahku. Pemandangan malam kota Jogja dari pinggiran sawah ternyata seindah ini.
“Ngomong-ngomong yang dateng banyak juga ya Mam.” kataku pada Zahra. Ia tak segera menimpali karena sedang sibuk membalasi pesan di ponselnya.
"Mam," senggolku padanya.
"Eh? Ya. Iya bentar. Ini balesin suami dulu." katanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.
“Ah, ya, aku kelupaan sesuatu,” katanya tiba-tiba. Aku dan anak-anak lain menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya-tanya.
“Ada titipan dari Dan nih buat kalian, yah cuma oleh oleh kecil kayak gantungan kunci sih, tunggu sebentar ya gengs. Aku ambil dulu,” kata Zahra sambil bangkit dari tikar lesehan.
“Perlu bantuan nggak? Jangan lama-lama Mam,” sahutku.
"Nggak usah. Nggak berat kok."
Lalu aku kembali mengagumi kerlap-kerlip cahaya lampu kota Jogja dari emperan sini.
Beberapa menit berlalu dan Zahra belum juga kembali.
"Dan emang siapa sih?" Ucap Abdul.
"Kalo nggak salah pacarnya yang kuliah di Columbia bukan sih? Mami cuma pernah cerita sesekali soal LDRan mereka."
"Hah masa sih? Kok bisa mau sama si Gembul? Gembul yang ngayal apa cowoknya yang rada katarak?" Ucap Abdul dengan ketus. Aku hanya mengangkat bahu.
Faiz palah berkomentar, "Abdul nih, sirik aja. Kamu nggak puas apa sama aku aja?"
Kemudian mereka saling bertatapan dan pergi ke pelaminan.
"Punya temen maho semua. Gimana gue mau taken vy." Ucap Ajie yang membuat tawa kami meledak.
"Eh iya, lupa mau nanya dari tadi. Pacarmu mana? Kata Irene kamu udah janji ke dia bakal bawa."
Deg! Seketika aku panik. Apa yang harus ku katakan? Aku ingin jujur, tapi aku malu. Aku ingin bohong. Tapi wajahku kelihatan sekali jika aku berkata bohong.
"Oh iya, untung Abdul ngingetin. Kita juga hampir lupa."
Aku berpikir lama. Tapi akhirnya aku memutuskan, aku ingin jujur saja. Mumpung hanya jujur pada mereka. Mumpung tidak ada Irene dan Light disini.
Aku mendesah dan memandang kesekeliling saung.
"Temen-temen, sebenernya...dia nggak ada." Ketika aku sedang berusaha menjelaskan kepada mereka, aku mendengar seseorang memanggil namaku. Aku berbalik mengikuti sumber suara dan melihat Zahra datang bersama perempuan manis dengan postur badan yang bagus dan tinggi, sedang melambai ke arah kami sambil tersenyum lebar.
Perasaanku mendadak tidak enak begitu melihat perempuan itu. Perasaanku pun bertambah berat seiring langkah yang di ambil perempuan itu untuk mendekati saung kami.
“Hey guys, apa kabar? Ivy! Aku nggak nyangka kamu beneran dateng,” sapa wanita itu ramah  pada kami. Tapi bagi telingaku, keramahan itu terdengar seperti dibuat-buat, sama seperti senyumnya.
Aku hanya tersenyum samar. ”Apa kabar, Irene? Lama nggak ketemu.”
Irene mengibaskan rambut panjangnya dan berkata, ”Baik. Kalian udah lama? Maaf ya, kita telat banget datengnya, Light ada urusan. Sebentar lagi juga ke sini.”
Tanpa menunggu anak-anak yang lain mengatakan sesuatu, Irene meneruskan, ”Kebetulan aku ketemu sama kamu, vy. Ada yang ingin aku omongin.” Tanganku telah diseret Irene ke tempat yang agak jauh dari saung kami. Selama berdua saja dengan Irene, aku diam saja, berdiri bergeming, dan menunggu kata-kata selanjutnya.
Irene menatapku dalam-dalam, ”Aku seneng kita ketemu lagi disini, tapi aku agak khawatir sama Light.”
Alisku terangkat kaget. Apa sih yang sedang dia bicarakan?
“Aku orangnya nggak bisa basa-basi, jadi aku mau bicara langsung aja. Aku ngerasa kalo Light mulai peduli lagi ke kamu. Bahkan akhir-akhir ini dia sering nyuekin aku. Padahal harusnya kan dia nggak perlu kayak gitu kalau dia ingat dulu nggak nanggepin surat cintamu dan palah jadian sama aku, ya kan?" Dia menatapku serius, tapi aku hanya buang muka. "Bagaimanapun juga, hubungan kalian udah lama berakhir. Kamu nggak seharusnya muncul di antara kami lagi.”
Aku tersenyum pahit. ”Irene, aku...”
“Oh, Ivy!”
Aku menoleh dan melihat Light menghampiri kami. Aku mendesah dan berpikir kenapa kedua orang itu harus datang ke tempat ini ketika reuni sudah hampir selesai? Padahal aku tak perlu menemui mereka seandainya mereka tak jadi datang.
“Kamu dateng juga?” tanya Light sambil menatapku. Wajahnya terlihat sumringah. Aku merasa kikuk diamati seperti itu, apalagi Irene juga sedang menatapku tajam.
“Aku yang minta. Biar kita bisa ketemu lagi,” sela Irene sambil menyelipkan tangannya ke lengan Light. ”Iya, kan, Ivy?” Aku meringis, ”Iya. Nggak enak juga ke anak-anak, nggak pernah dateng reuni.”
“Kamu dateng sama siapa?” tanya Light lagi dan aku bisa melihat air muka Irene langsung berubah.”
“Sendirian aja? Gimana kalau kita makan bertiga?” tanya Light meskipun belum sempat dijawab olehku.
Ya Tuhan. Apakah Light sungguh-sungguh berpikir aku sudah sebegitu putus asanya sampai memutuskan untuk makan bertiga dengan mereka? Yang ada hanya makan hati.
Irene menarik lengan Light dan cepat-cepat menyela, ”Ya nggak mungkin lah, Juniel bilang dia mau datang sama gandengannya. Nanti gandengannya malah ngerasa nggak enak kalau diajak gabung karena nggak kenal sama kita.”
Aku ingin tertawa keras-keras melihat sikap mantan teman sekelasnya yang terkesan seperti balita yang tidak mau melepaskan mainan kesukaannya. Aku ingat sekali bagaimana dia bilang kalau Light bukan tipenya sama sekali dan meremehkan laki-laki yang kusukai. Tapi kemudian dia palah menjilat kata-katanya sendiri dan menikungku dari belakang. Aku tidak percaya dia bisa setega itu padaku. Dulu, bagiku, dia adalah teman terbaikku.
Oh ya, kapan aku pernah bilang ke Irene kalau aku mau membawa gandenganku? Aku tak pernah berkata ya di telepon waktu itu. Awalnya aku memang ingin meminta Mas Sebastian untuk menemaniku datang reuni. Tapi dia sedang sibuk dan aku tidak ingin merepotkannya terus-terusan. Jadi aku datang sendirian. Tanpa gandengan.
"Nggak usah, Light. Aku dateng sendiri, tapi nggak papa kok, aku udah makan sama temen-temen tadi." Kataku canggung dengan menatap mata Light sesekali. Sepertinya Light dapat merasakan kecanggunganku.
"Kok dateng sendiri sih? Gandengannya mana?"
"Nggak...ada."
"Maksudmu...kamu nggak ada gandengan?" Aku mengangguk.
"Terus yang kemarin itu...bohongan?"
Ketika aku akan membuka suara, sebuah tangan menepuk bahuku dari belakang.
“Acaranya udah selesai?”
Aku dan dua orang yang berdiri dihadapanku serentak menoleh ke arah sumber suara. Sebastian menghampiriku sambil tersenyum lebar dan dengan kedua tangan dibelakang punggung. Aku mendengar sentakan napas Irene.
Ada sedikit rasa puas dihatiku ketika melihat reaksi Irene waktu Mas Sebastian muncul.
“Aku telat dateng ya?” tanya Mas Sebastian sekali lagi sambil menatap lurus ke arahku, mengabaikan dua orang yang ada di dekatnya.
“Acaranya udah mau selese sih. Kok mas nyusulin ke sini? Bukannya lagi ngurusin acara?” sahutku agak linglung.
“Iya, tapi inget kamu pergi sendirian aku jadi kepikiran. Aku udah izin ke ketua panitia.” papar Sebastian.
"Oh iya, nih ambil."
Aku tercengang melihat seikat  bunga edelweis yang di sodorkan mas Sebastian ke arahku.
“Buat aku?” tanyaku memastikan.
“Emangnya buat siapa lagi, ibu kosku?”
Aku menerima serumpun bunga edelweis itu dengan malu-malu lalu meninju  bahu Mas Sebastian dengan pelan, ”Aku nggak nyangka mas Sebastian bakal nyusulin aku ke sini,”
Setelah aku menerima bunga yang disodorkan Mas Sebastian, laki-laki itu seakan baru menyadari kehadiran dua orang lain yang melongo memperhatikan kami berdua.
“Oh, maaf. Aku nggak menyadari keberadaan kalian, Halo, kalian temen-temen smpnya Ivy, ya? Kenalin, Sebastian.”
Aku melihat mata Irene berkilat-kilat, tatapannya tertuju lekat pada Mas Sebastian, ” Aku Irene dan ini pacarku Light. Mas cowok yang di foto itu, ya?” tanyanya bersemangat.
“Foto?" Mas Sebastian menoleh padaku. Aku hanya angkat bahu.
 "Oh iya, foto yang itu. Haha jadi malu.” Mas Sebastian menyenggolku dengan sikunya sambil tertawa awkward.
“Malam yang indah ya dek.” Ia mengangkat sebelah tangannya dan merangkul bahuku. Aku terkesiap.
Mataku menatap Mas Sebastian dengan pandangan terkejut, kemudian mataku berganti memandang dua orang dihadapanku yang juga sedang menatap kami bingung.
“Iya kan, mantan temen-temen Ivy?” Mas Sebastian melanjutkan dengan nada ramah seperti tadi. ”Makasih udah mau ngajak Ivy ngobrol, maaf aku mengganggu acara kalian. Senang berjumpa dengan kalian.”
Selesai berkata begitu, dengan masih merangkul bahuku, Mas Sebastian menuntunku ke tengah ruangan, memilih saung yang kuinginkan.
Aku mengajaknya bergabung ke saung awalku bersama Zahra, Abdul dan teman-teman yang lainnya. Mas Sebastian orang yang mudah berbaur dan menyenangkan. Tidak sulit baginya untuk akrab dengan teman-temanku. Satu-satunya orang yang agak canggung disitu justru hanya aku.
“Makasih ya buat bunganya,” kataku ketika kami berjalan keluar dari restoran, mencari halte terdekat berdua saja. Kami akan pergi ke stasiun Tugu dan pulang ke Surakarta dengan kereta malam ini juga. Acara reuni sudah selesai dan Zahra bersama Abdul cs sudah pulang duluan sekitar seperempat jam yang lalu.
Aku memandang bunga pemberian Mas Sebastian dengan gembira. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang memberiku bunga. Selama ini, karena aku tomboy, anak laki-laki temanku jika bertemu denganku hanya memberi kepalan tinju.
“ Kamu suka nggak?”
“Suka banget. Aku suka edelweis,” Aku menatap Mas Sebastian sambil tersenyum cerah, ”Berapa banyak klien yang  kamu perlakukan kayak gini?”
Laki-laki itu hanya meringis, ”Menurutmu?”
“Laki-laki yang tadi itu yang dulu pernah kamu ceritain?” tanya Mas Sebastian dengan hati-hati.
Aku mendesah, ”Ya, dan wanita yang bersama dia itu dulu teman dekatku yang sekarang menjadi pacarnya. Kita bertiga ada di kelas yang sama waktu kelas satu. Pas naik kelas dua, mereka ada di kelas yang sama sementara aku beda."
Mas Sebastian menatapku, ”Kamu sedih ya?”
Aku tertawa, ”Nggak lah. Ngapain?"
Mas Sebastian masih terlihat kurang yakin.
“Nggak papa kok beneran,” kataku menenangkan, ”Makasih ya, udah nyusulin aku ke sini.”
Mas Sebastian tersenyum, "Aku bukan nyusulin kamu. Aku nyusul gaji lesku yang belum kamu bayar minggu lalu."

BAB 11: Friendsh*it: Teman Makan Teman

BAB 11: Friendsh*it: Teman Makan Teman
"Rin, liat deh, ini proposal-proposal yang diajuin sama mas Sebastian. Kayaknya aku agak cocok sama yang ini nih, menurutmu gimana?"
"Ah bagusan kak Sebastian menurutku. Kenapa sih, kamu nggak sama kak Sebastian aja? Dia kan cakep, mirip Song Joong Ki, tinggi, keren, pinter, pengusaha muda lagi!"
"Ya enggak lah Rin, dia tuh udah kaya kakakku sendiri tau. Aku lagi nanya serius nih. Gimana? Gimana menurutmu sama pilihanku?"
Rin menaik stopmap biru yang kusisihkan dari stopmap-stopmap lain. Lalu mempelajari profilnya sebentar. Saat melihat foto laki-laki dalam stopmap itu, ia tampak berpikir, lalu mendekatkan kepalanha untuk semakin memfokuskan penglihatannya.
"Kayak kenal sama nih orang." Dahi Rin berkerut. Dia tampak berpikir lagi.
"Seriusan?"
"Pas diliat-liat mirip siapa ya? Kayaknya mirip temen SMAku deh, si Erza. Kalo yang ini namanya...Erza juga! Wah dia temen SMAku vy."
"Masa sih Rin? Kamu kenal dong?"
"Ya lumayan. Nggak kenal-kenal banget sih, cuma pernah sekelas aja sama dia. Setauku sih orangnya pendiam. Baik. Rajin. Dermawan, sering jadi bahan contekan temen-temen pas ulangan. Orangnya juga sederhana dan sopan."
"Wah, kayaknya dia cowok yang baik ya."
Aku dan Erza berkenalan di taman bermain. Kami pergi bertiga bersama Rin. Karena ada Rin, kami jadi tak canggung dan hari itu menyenangkan sekali.
Aku mematut diri di depan kaca, memilih baju terbaik yang kupunya. Beberapa menit yang lalu Erza menelpon, mengajakku makan malam di suatu restoran di dekat balai kota.
Ping!!!
Aku membuka pesan dari Erza.
Aku udah di depan.
Cepat-cepat aku mengambil tas di atas meja, keluar kamar dan menguncinya lalu pergi menuju Erza di depan gerbang.
"Udah lama?" Tanyaku basa basi.
"Baru aja. Yuk." Aku mengangguk lalu menaiki boncengan motornya.
Kami berhenti di suatu restoran klasik yang mewah di tengah kota.
Ketika kami berada di dalam restoran, aku bisa melihat Mas Sebastian duduk di pojok ruangan sambil membolak-balik daftar menu. Ia menoleh padaku sambil memamerkan smirk di bibirnya. Aku dapat membaca gerak bibirnya, ia berkata 'Fighting!' padaku. Aku balas tersenyum padanya sambil memberi tanda-kau yang terbaik- dengan tanganku di bawah meja.
Setelah kami memesan, Erza mengajakku bicara banyak. Dia laki-laki yang baik, persis seperti yang Rin katakan. Nanti aku harus berterimakasih pada Rin karena telah memberi tahuku banyak hal untuk diobrolkan dengan Erza.
"Oh iya, udah berapa lama temenan sama Rin?"
"Em...sejak ospek. Dia satu-satunya temen deketku di kampus."
"Ooh gitu." Ia mengangguk-angguk.
"Sebenernya aku ngajak kamu ke sini pengen ngomong sesuatu."
"Oya? Apa?"
"Sebentar." Ia mengambil sesuatu dari saku celananya. Meletakannya diatas meja lalu membukanya. Sebuah kalung dengan permata yang indah.
"Menurutmu gimana?"
"Bagus banget."
"Kamu suka?" Aku mengangguk.
"Kalo kamu suka kira-kira Rin suka nggak ya?"
"Rin?"
"Iya. Aku pengen minta pendapatmu. Kamu kan temen baiknya Rin. Kalo misalnya aku nyatain perasaanku ke dia sambil ngasih ini, menurutmu gimana?"
Aku tertohok. Kalung itu bukan untukku. Itu untuk Rin.
Aku keluar dari restoran. Mas Sebastian telah menungguku di luar sana.
"Gimana? Sukses nggak?"
Aku duduk di boncengan, bahunya basah oleh air mataku.
Sore sore sekali ketika aku pulang kuliah Mas Sebastian mengajakku pergi dusbin, jalan-jalan, dan ke pantai. Disana aku menangis. Dia mengajariku satu hal bagaimana cara melupakan seseorang.
"Jika kamu benci dengan seseorang atau ingin melupakan seseorang, tuliskan namanya diatas pasir. Air ombak yang datang akan menghapuskannya. Jangan tulis diatas batu, karena kau aksn susah untuk melepaskan perasaan itu."

BAB 10: Grabmate: How I meet Your mate

BAB 10: Grabmate: How I meet Your mate
"Kamu mau ngepel lantai depan pintu kamarmu berapa kali?" tegur salah satu tetangga kamarku yang sedang duduk di kursi di belakang meja belajar yang menghadap ke kaca. Tak seperti pintu kamarku yang selalu tertutup, pintu kamarnya selalu dibukanya lebar-lebar. Ia sendiri sedang mengerjakan tugas rancang bangunan sambil memutar musik klasik keras-keras dari dalam kamarnya.
"Hah? Apa? Kenapa?" jawabku setelah beberapa lama. Aku sedang kepikiran hal lain dan tidak fokus mengepel lantai di depanku.
"Ya ampun! Kamu dari tadi lagi mikirin apa sih? Ngepel kok sambil bengong gitu?"
"Mikirin kapan Suho dateng ke sini dan membawaku lari dari kenyataan hidup yang pahit ini. Adek udah lelah bang." Gurauku.
"Yek! Bagun woy bangun!" Balasnya sambil tertawa. Kami berdua terkekeh.
Setelah membilas kain pel dan menempatkannya di gantungan kayu di dekat tempat cucian, aku bergegas masuk ke kamar. Hanya untuk meneruskan acara mondar-mandirku di dalam kamar.
Hari ini aku sedang dipusingkan dengan datangnya paket berisi buku tahunan jaman SMP yang-setelah sekian lama direncanakan pembuatannya-baru terealisasi kemarin-kemarin.
Sebenarnya masalah yang sesungguhnya bukan ada pada buku tahunan itu. Tapi pada surat undangan reuni yang disertakan bersamanya. Jika ingatanku benar, ini seharusnya menjadi reuni terakhir yang akan di selenggarakan angkatanku, sebelum banyak teman kami yang pergi merantau keluar pulau Jawa. Reuni-reuni sebelumnya, undangan memang mendarat di tanganku dengan selamat, tapi aku tak pernah datang dan teman-temanku mengira kalau itu semua gara-gara surat undangan tak sampai ke alamatku.
Reuni kali ini, aku juga tak berminat sama sekali untuk menginjakkan kaki di acara itu. Tapi gara-gara hal bodoh itu, mau tidak mau aku harus datang ke acara itu nanti. Kalau aku tidak ingin dijemput ramai-ramai oleh mereka di tempat kosku.
Aku tidak suka reuni. Aku pernah datang reuni SMK sekali dan aku merasa kapok. Di mataku, reuni bukan ajang temu kangen dengan teman lama. Tapi lebih kepada ajang temu pamer dihadapan teman lama.
Perhatikan saja, apa yang lebih jadi bahasan di setiap kali reunian? Pasti tentang kesibukan sekarang.
"Kuliah di universitas mana? Jurusan apa?"
"Kerja apa? Sebulannya berapa?"
"Dapet IP berapa?"
"Gandengannya mana"
Bla bla bla.
Sedangkan soal mengenang betapa indahnya masa-masa saat kita masih bersama hanya diobrolkan seperlunya saja. Sisanya biasanya hanyalah sesi berpamer-pamer ria. Itulah kenapa aku tak pernah suka datang reuni. Tapi reuni kali ini, aku sudah tidak bisa beralasan apa-apa lagi.
Ah, semuanya gara-gara postingan bodoh itu!
Hari itu April fool. Aku dan Rin ingin mengelabuhi teman-teman sejomblo setanah airku di kampus dengan memposting fotoku bersama seseorang yang di ambil dari belakang. Di foto itu aku berdiri bersebelahan dengan laki-laki misterius yang mengenakan topi.
Dari belakang, dia memang tampak seperti laki-laki. Padahal, dia hanya Rin yang baru saja potong rambut gaya laki-laki dan memakai topi. Dalam foto itu, Rin yang tampak seperti laki-laki merangkulkan tangannya ke bahuku.
"Yakin banget deh, anak-anak baper squad pasti ketipu." Rin tertawa jahil disebelahku waktu itu.
"Berani taruhan?" Balasku dengan smirk kecil di bibir.
Di atasnya ku beri caption, "Finally I found you." Ku posting foto itu.
Paginya, tugas dan deadline mendadak bertumpuk di depan hidungku. Selama beberapa hari, aku tak sempat membuka facebook, begitu pula teman-teman Baper Squad-ku.
Saat aku sedang punya waktu senggang, aku teringat lagi dengan postingan terakhirku. Aku cepat-cepat membuka facebook untuk menghapus foto itu. Tapi tebak apa yang terjadi? Kolom komentar di bawah foto itu dipenuhi oleh teman-teman smpku!
Setelah membaca kometar-komentar mereka, aku mengacak-acak rambutku. Ya Tuhan, aku malu sekali! Mereka percaya kalau orang di foto itu adalah pacar baruku.
Setelah hari itu, aku membiarkan foto itu dan tak membalas satupun komentar mereka.
Tapi saat ada nomor asing menelpon-yang kupikir adalah ayahku yang sedang pinjam ponsel orang-, ternyata dia Irene.
"Selamat ya," ucapnya ditelepon.
"Untuk?" Jawabku malas.
"Apa lagi? Pacar barumu lah." Aku terperanjat. Teringat kebohongan bodoh itu.
"Light pasti seneng deh, kalo tau."
Aku tak menjawab. Mengungkit-ungkit Light. Apa-apaan dia ini.
"Diliat dari belakang aja ganteng, ya. Apalagi dari depan. Jadi nggak sabar pengen liat langsung."
"Biasa aja." Ucapku dengan cuek.
"Besok reuni terakhir, lho. Sebelum pada nggak bisa dateng reuni lagi. Kamu harus dateng."
"Aku...nggak-"
" Pokoknya semuanya harus dateng. Siapapun yang nggak dateng, bakal kita samperin dan jemput rame-rame entar. Dan pacar barumu itu. Pokoknya harus dikenalin ke kita. Wajib. Kudu. Oke?"
"Yah, liat aja entar."
Sial!!! Kenapa aku palah sok keren dan bilang liat-aja-entar? Harusnya dulu aku bilang, "Nggak kok. Aku nggak punya pacar. Itu cuma becandaan. Aku masih jomblo dan hidupku masih stagnan. Belum ada perubahan."
Ngomong kaya gitu apa susahnya sih? Hah! Semuanya gara-gara aku terlalu gengsi mengatakan itu pada orang yang sudah menikungku. Aku hanya tidak ingin dia merasa aku masih belum bisa move on dari laki-laki yang sedang dipacarinya itu. Aku hanya ingin menunjukkan dihadapannya kalau tanpa laki-laki itupun, hidupku masih baik-baik saja. Tapi apa yang terjadi? Ah, aku bisa gila!

BAB 9: Organisasi : Ligkaran Setan

BAB 9: Organisasi : Ligkaran Setan
     Rin itu tipe mahasiswi yang disayang dosen. Aktif terlibat di kegiatan dalam kelas, aktif ikut kepanitiaan di acara-acara besar, aktif dalam kepengurusan organisasi, tapi nggak pernah bolos dan tetap berprestasi. Tapi mahasiswi seperti Rin hanya ada satu dua di kelasku. Sedangkan aku, aku mahasiswi yang tak bisa diharapkan. Pasif di kelas, ngantukan. Nggak mudengan. Ikut organisasi cuma satu, itu pun cuma nongol sekali dua kali.
Aku adalah mahasiswi kuper. Kuliah perpus kuliah perpus. Setelah pulang kuliah aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke perpus. Tujuan utama: wifian. Lalu selanjutnya adalah untuk tidur. Trust me, perpustakaan adalah tempat ternyaman di kampus untuk tidur. Yang terakhir, baru : baca buku.
Di Sastra Alay, kau bisa menemukan berbagai macam tipe maniak. Di sana, kau bisa menemukan perempuan yang begitu menggilai buku dan film. Sebelum aku ingin membaca buku, orang yang kudatangi pertama kali untuk kumintai spoiler pasti dia. Semua buku fiksi romance, sejarah, dan sains fiction yang pernah kutanyakan padanya tidak ada yang belum pernah dia baca, meski halamannya setebal pengganjal pintu. Urusan film juga tidak ada bedanya. Entah dia secretly penjaga warnet atau apa, tapi sepertinya film apapun yang aku dan anak-anak lain butuhkan, dia punya. Jangan-jangan sebenarnya dia palah admin situs penyedia film gratisan di internet.
Ada juga anak perempuan yang sehari-harinya tak pernah libur bermain dota dan game-game lainnya. Dia sering datang terlambat ke kelas dengan kantung hitam yang besar di bawah mata. Tapi anehnya, IPnya tak pernah dibawah tiga. Aku penasaran, apa rahasianya.
Ada anak perempuan yang sepertinya lebih cocok berada di jurusan yang menangani style fashion palah tersesat di Sastra Alay. Apapun baju yang kupakai, ada saja yang dikomentarinya.
Waktu aku ngampus memakai celana army dan jersey hitam garis-garis, dia komentar, "Mau kuliah apa mau jogging?"
Waktu aku pakai atasan-bawahan hitam-hitam, dia komentar, "Mau ke kelas apa mau ke pemakaman?"
Pas aku pake atasan batik dan bawahan batik, dia komentar. "Jangan pake pakaian kaya gitu lagi. Udah atasnya batik, bawahnya batik, norak tau."
Dia juga selalu komentar kalau aku itu fashion terrorist, gara-gara nggak bisa mix and match-in warna baju yang bakal dipake.
"Atasannya putih, roknya ungu, eh kaos kakinya item. Enggak banget."
"Biarin. Kan yang make baju aku, kok yang repot kamu?"
"Nggak enak diliat mata tau."
"Liat yang lain kan bisa. Yang nyuruh liat aku siapa?"
Pas aku ganti pake rok berwarna hijau bercorak hitam, dia masih komentar, "Itu pake rok apa pake sarung."
Biasanya aku diam dan tertawa saja. Tapi lama-lama gatel juga rasanya.
"Itu mulut apa radio? Siaran mulu dari tadi."
Tapi hubungan kita nggak seburuk itu kalau sudah terlepas dari masalah fashion.
Ada juga anak yang kuliahnya bukan di kelas, tapi di organisasi.

BAB 8: IPK: Mawapres

BAB 8: IPK: Mawapres
"Ini kartu hasil studi apa bungkus vitamin?! Kok dari atas sampe bawah hurufnya C semua?!" Aku mengacak rambutku frustasi setelah login di siakad untuk menilik laporan hasil belajar selama satu semester ini. Lagi-lagi IP yang kudapat hanya segini. Jangankan cumlaude, 3 saja susah digapai. Sesusah menggapai kasih tak sampai.
Semuanya sangat berbeda dengan kartu hasil studi milik Rin. Ketika IP Rin Kumlaut, IPku ke laut.
Aku tak bisa menemukan satu huruf C pun di KHSnya. Huruf B saja hanya satu dua. Dengan nilai seperti itu Rin sudah selangkah lebih dekat dengan impiannya untuk melanjutkan studi di Australia. Sementara aku? Impianku melanjutkan ke Jepang semakin menjauh dari jangkauanku.
Apa yang salah dengan studiku selama ini? Aku jarang bolos kuliah, jarang telat masuk kelas, selalu mendengarkan, membuat catatan selama perkuliahan, dan selalu duduk di barisan depan. Tapi IP yang ku dapatkan selalu jauh dari harapan. Apanya yang salah? Apa aku salah jurusan? Kalaupun aku ingin pindah jurusan, aku tidak tahu harus pindah ke jurusan yang seperti apa agar aku merasa cocok selama perkuliahan.
Aku memilih Sastra Alay karena dua hal, aku berasumsi kalau passionku ada disini. Kedua, karena aku tak punya keahlian. Jadi, sejeblok apapun IP yang aku dapatkan, aku tak punya pilihan lain selain bertahan.
Di kampus, gara-gara selalu duduk di barisan paling depan, aku sering dikira mahasiswi teladan. Mereka sering bilang, "Rajin banget deh, nggak pernah nggak duduk di depan." Padahal aku duduk didepan karena suatu alasan. Udah duduk di barisan paling depan aja aku masih nggak ngerti sama apa yang diomongin dosen, apalagi kalo aku duduk di belakang?
Teman sesama penghuni barisan depan memang terkenal anak-anak pintar. Tapi setiap kali aku minta bantuan pada mereka untuk memberikan penjelasan karena aku tidak mengerti dengan materi yang baru disampaikan, mereka selalu bilang, "Wah, gimana ya? Aku juga nggak terlalu paham, sama aja kaya kamu. Jadi nggak bisa bantuin, maaf ya."
Okelah kalo emang kenyataannya begitu sih nggak papa. Tapi selalu aja ada anak yang bilang begitu tapi ketika dikasih kuis, nilainya paling tinggi. Makasih lho ya.
Selain rajin duduk di depan, selama kuliah aku juga belum pernah titip absen sekalipun. Kadang aku iri sama orang yang bisa nitip absen ke temennya lalu bisa leha-leha seharian di kamar cuma buat nerusin nonton drama.
"Aku lumayan banyak nyekip kelas semester ini. Palah lebih banyak TAnya dari pada tanda tangan sendiri." Curhat temanku dari beda jurusan waktu kita sedang jajan di emperan sehabis jogging pagi.
"Aku belum pernah titip absen satupun." Keluhku padanya. Dia palah menepuk pundakku keras seraya berkata, "Widih, hebat! Mahasiswi teladan."
Mahasiswi teladan apanya. Belum tau dia. Sebenernya aku kepingin banget ngerasain rasanya titip absen sekali aja. Tapi aku nggak punya temen yang bisa dititipin absen. Mereka semua orang-orang lurus dan lugu.
Mereka selalu bilang, "Ah nggak mau ah, takut kalo ketauan. Nggak usah bolos deh, mending masuk aja."
"Duh, aku nggak berani. Aku nggak pinter malsuin tanda tangan juga. Maaf ya."
Ya, itulah susahnya jadi satu-satunya orang dengan tipe pembangkang diantara orang-orang yang terlalu baik-baik dan taat peraturan.
"Habis ini mau ke mana?" Rin bertanya padaku selagi ia mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan dan memindahkan beberapa potong es batu di gelasnya ke es teh milikku. Dia tidak suka es yang terlalu dingin.
Aku mengambil pesanan dari atas nampan yang baru saja dihantarkan oleh ibu kantin.
"Pulang ke kosan aja lah. Kenapa emang?"
"Kan ada sosialisasi Mawapres. Kamu nggak mau ikut? Aku sih ikut."
"Nggak lah, ngapain. Aku udah jadi mawapres." Ucapku tak bersemangat sersya memotong-motong. steak ayam dihadapanku yang masih panas.
"Hah?"
"Mawapres Rin, Mahasiswa ipk ngepres." Terangku padanya.
Rin menoyor kepalaku. "Ivy ini terbuat dari apa sih. Jadi orang kok pesimisan banget. Heran deh." Rin mencibir. Sementara aku hanya meneruskan makan.
"Kamu nggak kepikiran buat les aja gitu vy?"
"Ya pengen Rin, tapi aku pengen lesnya yang waktunya fleksibel."
"Kenapa nggak nyari tutor di aplikasi SemuaGuru aja vy? Kayaknya nanti waktu lesnya bisa custom sendiri. Bisa janjian dulu gitu sama tutornya."
"Apaan sih tuh? Bagus nggak? Jelasin, jelasin."
"Itu aplikasi online buat jadi tutor atau nyari tutor. Tetangga fakultas lho, yang bikin. Temenku anak MIPA udah nyoba. Yah, lumayan bikin nilainya naik sih katanya. Tapi kudu pinter-pinter milih tutor juga sih."
"Oh gitu. Kayaknya bagus deh kedengarannya. Menurutmu aku perlu nyoba nggak? Tapi aku nggak ngerti cara milih tutor yang bagus gimana?"
"Menurutku sih kamu harus nyoba, vy. Siapa tau cocok. Soal nyari tutor gampang lah, nanti aku tanyain ke temenku yang udah berpengalaman."
"Oke oke love you Rin-chan!"
"Love doang nih? Nggak pengen ngasih apa gitu?"
"Hem yadeh yadeh, kali ini makanmu aku yang bayar."
     Di luar, hujan hampir turun. Langit telah pekat sekali. Aku sedang di perpustakaan lantai lima, duduk di kursi dekat kaca jendela, menyenderkan kepalaku di atas meja sambil menatap langit mendung di luar sana. Sudah hampir setengah tiga, tapi Rin belum datang juga. Hari ini Rin akan mengenalkanku pada tutor pilihan temannya.
Aku mendesah panjang. Ponselku mati. Power bankku rusak dan aku lupa membawa charger. Kuputuskan untuk berjalan menuju rak-rak buku, mencari sesuatu yang mungkin akan menarik minatku untuk membaca.
Aku mengamati judul buku satu persatu, saat aku menemukan judul yang menarik minatku, aku menjulurkan tanganku, berniat mengambilnya, tapi disaat yang sama, seseorang ingin mengambil buku itu juga.
"Eh?" kataku ketika buku itu telah diambil orang lain. Aku menoleh pada orang itu. Ia juga.
"Oh Ivy. Hai. Mau ambil buku ini juga?"
"Eh mas Sebastian. Iya sih, tapi kayaknya mas lebih butuh deh, ambil aja mas."
"Oh gitu. Oke, makasih ya." Aku mengangguk.
"Nugas mas?"
"Lagi nunggu temen sebenernya, tapi belom dateng juga. Daripada nggak ngapa-ngapain mending nyicil nugas. Kamu sendiri?"
"Sama. Nunggu temen juga." Giliran Mas Sebastian yang mengangguk-angguk paham.
"Ivy, sori lama. Tadi ada urusan mendadak." Aku dan mas Sebastian menoleh bersamaan pada seseorang yang baru saja datang. Rin terengah-engah, mengatur napasnya perlahan.
"Iya Rin nggak papa. Maaf batreku abis. Terus tutornya mana? Kok kamu dateng sendirian?"
"Kamu belum ketemu? Katanya udah di perpus. Namanya Sebastian kalo nggak salah. Aku nggak tau yang kayak gimana orangnya. Bentar aku hubungin dulu."
"Maaf? Kamu Airin temannya Mitha bukan ya? Aku Sebastian."
"Iya bener, aku Airin temennya Mitha yang minta dicariin tutor buat temenku, Ivy."
"Owalah, jadi tutorku mas Sebastian?"
"Eh kalian udah saling kenal? Baru aja tadi aku mau nanya cowok ini siapa."
"Ini loh mas-mas tukang ojek baik hati yang aku bilang waktu itu."
"Oh ini. Salam kenal kak."
Airin dan mas Sebastian bersalaman. Kami bertiga memilih tempat duduk yang nyaman lalu mulai membicarakan kontrak kerja.
"Eh maaf nih, kalian berdua aku tinggal dulu ya, ada rapat hmj." Setelah berpamit padaku, Rin bangkit, dan berjalan ke pintu keluar sambil melambai pada kami.
Aku membalas lambaiannya sampai ia menghilang dibalik pintu.
"Kita mulai pertemuan perdana kita sekarang?" Tanya mas Sebastian sambil membolak-balik halaman buku grammar milikku. Aku mengangguk.
Aku memijit-mijit pelipisku dengan tanganku. Kepalaku rasanya sakit. Nilai Uji Kompetesiku kemarin nyaris D. Bagaimana dengan hari ini? Aku tidak yakin bisa mengerjakannya nanti di dalam. Memang sih, aku sudah les pada tutorku beberapa minggu sambil memperbaiki cara belajarku pelan-pelan. Aku juga sudah baca-baca sedikit. Tapi aku masih tidak pede juga.
Ketika kertas ujian dibagikan, aku panas dingin. Kalau aku dapat nilai jelek lagi kali ini, aku pasti dapat D.
Ketika aku menerima kertas soal itu. Aku menatap pertanyaannya sekilas dan aku kaget sekali. Biasanya aku tak pernah yakin harus menuliskan apa di lembar jawabku , tapi kali ini aku mampu menjawab setiap pertanyaan dengan yakin. Aku tahu semua jawaban soal ini!