Jumat, 19 Februari 2016

BAB 2

BAB 2
Aku yakin setiap orang pasti pernah memiliki selembar nama yang ia simpan rapat-rapat dalam hatinya. Tak terkecuali aku. Hanya saja, selama bertahun-tahun ini aku sudah berusaha untuk tidak ingin tahu lagi bagaimana perasaanku terhadapnya.
Dia pernah menjadi satu-satunya laki-laki selain ayahku yang namanya selalu ada di setiap lembar halaman buku harianku. Selama bertahun-tahun aku telah berusaha untuk tak lagi mengkepo-i kehidupannya, berusaha tak mencari tahu bagaimana kabarnya, apa kesibukannya, atau dimana keberadaannya. Aku telah memutuskan untuk tak lagi ingin tahu apapun yang terjadi padanya. Sejak kejadian itu, aku sudah memutuskan untuk berhenti peduli pada kehidupannya. Tapi ketika aku mulai meyakini kalau diriku sudah benar-benar tak peduli lagi tentang hal-hal itu, takdir palah seakan sengaja membawa laki-laki itu kehadapanku seperti ini.
Di luar, hujan deras sedang turun. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat derai-derai air hujan yang menetes pada kaca-kaca restoran tempat dimana aku berada sekarang:  duduk berhadapan dengan Light diatas meja makan. Ia terlihat seperti orang yang sudah tidak sabar lagi menunggu datangnya makanan, sementara aku palah terkesan seperti orang yang tidak sabar menunggu hujan di luar segera reda agar aku bisa cepat-cepat pulang. Sejak Light mengajakku menanti hujan reda bersamanya di sini, keheningan terus melanda kami berdua. Aku dengan pandangan yang terus memandang lurus ke ponsel di depanku, namun sebenarnya padanganku menerawang. Sementara Light terus sibuk dengan game di ponselnya dengan mata yang sesekali melirik ke arahku, namun aku bersikap seakan tidak tahu.
Light mengetuk-ketukkan jari telunjuknya di atas meja, seolah-olah sedang berusaha mencari topik untuk dibicarakan.
"Aku nggak nyangka kita bakal ketemu disini." Setelah beberapa lama saling diam, Light akhirnya memberanikan diri untuk buka suara.
"Aku juga," balasku singkat. Tidak tahu harus mengatakan apa. Aku sama sekali tidak pernah mengira kalau hal seperti ini akan terjadi: aku dan laki-laki itu, duduk berdua saja seperti sekarang ini. Apalagi ketika mengingat semua hal yang telah terjadi sebelum ini, rasanya canggung sekali.
"Kamu kemana aja selama ini? Nggak pernah ada kabar." Ia lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku hem denim yang dikenakannya, dan mulai mengajakku berbicara dengan saling tatap mata.
"Di media sosial kayaknya kamu juga jarang apdet." Mendengarnya, aku berhenti memandangi layar ponselku, meletakkan benda itu di atas meja. "Ya," jawabku. Aku memang jarang mengupdate media sosialku dengan postingan, aku lebih suka menggunakan akun-akun itu untuk stalking atau belanja online.
"Aku pernah nginvite BBM kamu tapi belum ke-accept sampe sekarang, kenapa ya?"
Soal itu aku sengaja. Sengaja meng-ignore undangannya.
"Oh...itu aku--anu, nggak pake BBM lagi."
"Ooh." Ia mengangguk-angguk mengerti, lalu menambahkan, "Fokus belajar ya?"
"Hah? Oh--ya." Jawabku sekenanya. Fokus belajar apanya. Jangankan baca buku. Apa yang diterangkan guru di kelas saja aku tidak pernah tahu.
Jajangmyeon pesanan kami berdua akhirnya datang. Oya aku lupa mengatakannya, saat tadi Light meminta pendapatku untuk pergi ke restoran mana, aku menyarankan untuk pergi ke restoran dengan masakan Korea.
Ketika kami sedang sama-sama mengaduk mie kami masing-masing di dalam mangkuk, dia bertanya lagi, "Sibuk apa sekarang?"
"Belum ada."
Merasa tidak enak karena sejak tadi hanya dia yang aktif bertanya, aku akhirnya memutuskan untuk balik bertanya, "Kamu sendiri gimana?" Kali ini aku bertanya sambil menatap matanya. Ia tersenyum ketika mendengarku bertanya. Dia kelihatan senang. "Aku di Astra."
"Wah, Astra. Tempat kerja idaman anak-anak STM," pujiku. Aku terkesan mendengarnya. "Selamat ya, kamu emang pantes diterima disana."
"Ah, nggak juga," jawabnya sambil malu-malu. Ia mengaduk-aduk sedotan dalam gelas berisi air pepsi miliknya. "Aku nggak ada apa-apanya kalo dibanding kamu."
Sambil mengunyah mie berkecap hitam itu, aku mengerutkan kening, "Maksudnya?"
"Dulu di SMP, kamu selalu masuk tiga besar di kelas, sedangkan aku, peringkat dua lima, tiga lima...Payah pokoknya."
"Ah, nggak juga," sergahku. "Dulu nilai-nilai matematika dan ipamu selalu sempurna. Aku palah lemah dibidang itu. Aku cuma kuat di bidang hafalan dan bahasa."
"Oh iya ngomongin soal bahasa aku jadi ingat sama perkenalanmu di awal masuk SMP dulu. Kalo nggak salah kamu pernah bilang kamu ingin jadi penulis, kan?" Mendengar dia berkata begitu, refleks aku menghentikan aktivitas makanku. Membiarkan diriku termenung untuk sesaat.
"Kamu ingat? Aku pernah iseng menyembunyikan bukumu? Disana aku nggak sengaja baca tulisanmu."
Aku yang sedang mengelap mulutku dengan tissue, kini berhenti dan menatap ke matanya sebentar.
"Tulisanmu bagus." Mendengar Light mengatakan itu, tanpa sadar aku menjatuhkan tissue di mulutku. Mendadak saja, aku teringat kejadian dulu. Apa maksudnya mengatakan itu? Apa dia sedang berkata jujur? Atau hanya sedang menghinaku? Jika menurutnya tulisanku bagus, kenapa dulu dia melakukan hal itu padaku? Apa niat laki-laki ini sebenarnya ketika mengatakan hal itu?
Lama kami terdiam. Ligjt mungkin menyadari raut wajahku yang menunjukkan air muka tidak suka ketika tulisanku disebut-sebut.
Sepertinya, dia merasa tidak nyaman jika aku dan dia saling terdiam lama seperti ini, jadi dia berusaha menyambung obrolan lagi. "Masih sering kontak-an sama Irene?"
Mendengar nama itu disebut oleh Light, dadaku mulai terasa sesak. Scene-scene itu kini terputar di kepalaku kembali. Kenapa aku ini? Aku sudah berusaha sejak lama untuk melupakan masalah itu. Aku yakin aku sudah tidak peduli tentang hal itu lagi. Tapi kenapa dadaku mendadak terasa sesak seperti ini? Apa itu aku berarti aku masih belum ikhlas dengan semuanya?
"Y-ya. Nggak. Aku--maksudku kami udah lama nggak kontak." Kataku berusaha jujur. Aku memakan mie di mangkukku lagi sambil menatap meja, berusaha menghidari kontak mata.
"Irene bilang dia udah sering berusaha untuk menghubungimu, tapi kamu nggak pernah ngerespon."
Aku meliriknya sebentar, lalu menyeruput mie dengan saus hitam itu pelan-pelan.
Laki-laki itu melanjutkan, "Dia menduga mungkin kamu marah ke dia tanpa alasan yang jelas. Sebenarnya kalian ada masalah apa?" Aku sudah pasti akan membanting mangkuk kaca di hadapanku ini jika saja saat ini aku sedang makan sendirian di restoran. Marah tanpa alasan katanya. Lucu sekali.
"Mungkin Irene menghubungiku ke nomorku yang lama. Aku sudah lama ganti nomor," jawabku beralasan. Aku merasa tidak punya kepentingan untuk membalas pesan-pesan perempuan itu, anyway.
"Kalau gitu, boleh aku minta nomor teleponmu yang baru?"

Ketika hujan di luar telah benar-benar reda, Light memaksa untuk mengantarku pulang dengan mobilnya, tapi aku segera menolak. Aku ingin pulang dengan bus umum saja, jadi Light hanya mengantarku sampai halte terdekat dan setelahnya, kita berpisah disana.
Di dalam bus di sepanjang jalan pulang, aku masih terus memikirkan kata-kata yang sempat diucapkan Light di dalam mobilnya sebelum kita berpisah, "Kamu inget nggak? Dulu, ketika aku pernah berada di titik terendah dihidupku, kamu mendatangiku dan berkata padaku, 'Aku yakin kita dilahirkan ke dunia ini untuk suatu alasan. Nggak mungkin kita hidup hanya untuk pergi ke sekolah yang membosankan setiap harinya seperti ini, makan makanan junk food, menghabiskan setok drama yang menumpuk di harddisk, mengalami patah hati di sana sini, pergi kerja-dapat gaji-lalu gajinya habis hanya untuk membayar hutang, lalu mati. Nggak bisa. Hidup kita nggak boleh cuma seperti itu."
Dia memberhentikan mobil itu, dan sebelum aku meraih pegangan pintu untuk keluar, ia menatapku dalam. "Katamu waktu itu, kita punya kebebasan untuk menentukan jalan hidup kita sendiri. Kamu mau sukses atau mau gagal semuanya terserah kamu. Kita semua adalah pemain yang berdiri di lapangan yang sama. Kaku, aku, orang lain kita semua punya kesempatan yang sama untuk menciptakan gol."
"Apa kamu tau? Ucapanmu waktu itu telah menjadi alasanku masih menjalani kehidupanku sekarang."
Di kursi halte tadi sore, aku merenung. Aku bahkan sudah tidak ingat kalau kata-kata seperti itu pernah terucap dari mulut orang sepertiku. Tapi kenapa dia masih ingat dengan apa yang pernah kukatakan padanya dulu? 
Obrolanku dengan Light hari ini membuatku tersadar kalau hidupku telah banyak berubah semejak aku dan dia berada di kelas yang terpisah. Sejak aku lulus SMP dan memutuskan untuk melanjutkan sekolah di SMK, aku merasa aku telah menjadi orang lain yang entah siapa.
Seandainya disisiku masih tersedia seorang ibu yang selalu memperhatikan kehidupanku dan bagaimana aku tumbuh; Masih tersedia sesosok ayah yang menasehatiku untuk menjadi anak baik di meja makan; dan memiliki saudara yang selalu punya waktu untuk berbagi keluh kesah, mungkin hidupku akan berbeda. Mungkin sekarang, aku masih jadi anak baik-baik yang lebih memilih duduk berjam-jam di meja belajar--seperti saat aku masih kelas satu smp--daripada pergi-pergi keluar. Tapi kenyataannya, kini tak ada siapa-siapa selain seorang kakak perempuan yang terus-terusan sibuk bekerja. Aku sering berada di rumah sendirian, dan meski kakakku hanya kadang-kadang berada dirumah, tetapi kapan saja timbul perselisihan, aku akan pergi ketika dia mulai mengomel panjang--menginap di kosan temanku.
Pada suatu titik dalam hidup ini, semua orang mungkin pernah mengalami saat-saat yang gelap, ketika hidup rasanya gersang, tidak ada tujuan dan menyakitkan. Aku merasakan kekosongan yang amat sangat pada diriku. Hari itu di dalam kamar, ketika membolak-balikkan badan di atas kasurku, berbagai rasa pedih datang menyerangku : impian yang hancur, rasa takut yang tak menentu kalau-kalau aku mungkin tak akan punya masa depan yang cerah setelah ini, dan betapa kerasnya dunia memperlakukanku. Malam-malam setelah itu, aku sering berdoa, memohon dan menangis sendirian saja di sudut kamarku.
Di keseharianku yang penuh tekanan, aku mendapati bahwa bermain game online merupakan cara yang baik sekali untuk melepaskan stress di kepalaku. Sejak saat itu aku sering membolos sekolah, pulang dari game center ketika hari sudah malam dan terlalu tidak nafsu untuk belajar atau tidur. Jadi, aku membuat kopi, memasak mie instan dan menghabiskan waktu dengan membaca manga atau menonton film sampai tengah malam. Rutinitas itu membuatku kehabisan energi setiap pagi dan tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik. Akibatnya, nilai-nilai yang kudapat selalu jeblok. Sejak saat itu, keyakinanku tentang diriku sendiri perlahan berubah.
Tapi hari ini, perkataan Light membuatku menyadari kalau selama ini, nilai-nilai hidupku telah jauh bergeser dari posisi awal sehingga aku bahkan tak lagi mengenali prinsip-prinsip yang pernah kupegang dulu.
 Setelah melepas sepatu dan melemparkannya ke rak, aku membuka pintu seraya berteriak, "Aku pulang."
 Lampu ruang tamu menyala, itu berarti kakak sedang ada di rumah. Tapi tidak ada jawaban. Mungkin dia sedang berada di dapur atau di kamar mandi, jadi dia bisa mendengar teriakanku. Atau kemungkinan lain dia masih marah padaku soal ijazah itu dan sengaja tidak menjawabku.
 Selepas ganti baju, aku keluar dari kamar dan berjalan ke dapur, mengambil camilan di lemari lalu menuju sofa di depan TV dan mendapati kakakku telah berada di sana, sedang tiduran di atas sofa sambil memainkan ponselnya, sementara TV di depannya dibiarkannya tetap menyala meski tidak ia tonton.
 "Dari mana aja?" Tegurnya padaku. Ia baru menyadari keberadaanku disana saat aku mengambil remote di samping kakinya dan mematikan televisi.
Tanpa menjawab, aku menyaut ponsel digenggamannya. Ia terlonjak kaget dengan perbuatanku yang terlalu tiba-tiba. Ia baru akan mengatakan sesuatu, ketika aku sudah berbicara mendahuluinya. "Kak, aku mau kuliah."
Mendengar ucapanku barusan, kakakku hanya melongo dalam posisinya. Mungkin saat ini ia sedang berpikir--apa yang salah dengan anak ini?
"Kamu bilang apa tadi?" tanyanya lagi, berusaha memastikan kebenaran dari apa yang didengarnya barusan.
"Aku mau kuliah," ulangku.
***
Aku menarik selembar kertas HVS yang baru saja keluar dari mulut printer itu. Memandangi kartu peserta ujian milikku yang kini telah tercetak disana.
Ternyata sudah sebulan sejak aku mendatangi kakaku di sofa depan televisi dan mengatakan padanya ingin mendaftar kuliah. Meski aku yakin kalau di dalam hatinya saat itu, dia tidak percaya diri kalau aku bisa melakukan itu--lulus ujian masuk universitas--tapi melihat kesungguhan dari pancaran mataku malam itu, ia memutuskan untuk mendukungku. Paginya, ia begitu antusias mendaftarkanku les persiapan ujian masuk universitas.
Bagi orang dengan otak yang sudah terlanjur kusut sepertiku, sebulan terakhir ini terasa berat sekali : bayangkan saja, aku harus mempelajari materi-materi yang tak pernah kupelajari di sekolahku sebelumnya. Sejak aku sering tak memahami materi yang diajarkan di tempat les dan selalu mendapat skor jelek di try out-try out yang mereka adakan, aku yang awalnya menghindar untuk membuka materi-materi itu mulai membaca-bacanya sendiri di rumah. Membayangkan sekeras apa kakakku telah bekerja selama ini demi membiayai hidupku dan mengingat apa yang sejauh ini telah kulakukan dengan hidupku membuatku bertekad untuk menseriusi hidupku mulai saat itu.
Di rumah, aku membagi bab-bab menjadi beberapa bagian, dan setiap bagian kuberi tenggat waktu tentang kapan aku harus selesai membacanya agar aku masih punya waktu untuk bermain game atau berselancar di internet.
Aku menggeser kursi putar berodaku, membuat badanku diatasnya meluncur dari depan printer menuju meja di dekat lampu tidur : memasukkan kartu ujianku ke dalam stopmap plastik berwarna biru dan meletakkan benda itu di atasnya. Tidak terasa sebulan telah berlalu dan dua hari dari sekarang, aku akan menjalani ujian yang sesungguhnya. Besok pagi, kakakku akan mengantarku ke kontrakan sepupuku di Sleman : mencari lokasi ujian.
Seusai mencuci kedua kaki dan tangan, aku beranjak menaiki kasurku, merebakan badan lelahku di atas sana dan menyelimutinya dengan kain berbahan wol. Sambil menatap pekatnya warna langit malam dari kaca jendela, aku teringat dengan sebuah quotes yang pernah kutulis diatas kertas dan kutempelkan di jendela. Meski kertas itu kini sudah entah dimana, aku masih dapat mengingat isinya, 'Apapun yang terjadi, bangunlah, berpakaianlah, dan bertarunglah demi impianmu.'
Jangan pernah percaya pada janji-janji manis yang ditawarkan pria phk: pemberi harapan kosong. Juga jangan menyerahkan kepercayaanmu sepenuhnya pada Gugel Mep ketika mencari tempat yang kau tuju. Karena Pria pemberi harapan kosong dan Gugel Mep berbagi prinsip yang mirip, sama-sama memberikan pencerahan dan harapan tentang apa yang kita cari tapi pada akhirnya tak menjanjikan apapun.
Aku pernah diberi harapan-harapan kosong oleh Gugel Mep beberapa kali ketika mencari lokasi obyek wisata bersama teman-temanku, tapi sayangnya aku belum kapok juga. Sore-sore sekali aku dibonceng vespa oleh sepupuku mengelilingi Sleman, mencari lokasi ujian untuk memastikan ruangan dan mencocokkan nomor tempat duduk sesuai kartu hanya bermodalkan Gugel Mep.
"Sudah, percayakan saja semuanya padaku." Kata sepupuku menepuk-nepuk dadanya sambil menyerahkan ponsel bergugel mep padaku sebelum kami berangkat.
Di sepanjang perjalanan, aku agak cemas karena gelagatnya menunjukkan kalau dia tidak yakin dengan jalan yang diambilnya.
"Duh, ini jalannya bener nggak ya?! kata Gugel Mep sih lewat sini, tapi kok aku ragu ya." Dia menggaruk-garuk pelipisnya yang aku yakin sekali tak benar-benar gatal. Ia hanya bingung.
"Udah, ikuti jalan aja dulu, siapa tau nanti ketemu," kataku berusaha menenangkan. Padahal dalam hati, aku sendiri juga merasa cemas.
Jalan raya, fly over, jembatan, jalan-jalan trobosan, gang-gang kecil, semua sudah kita lewati sampai kita putari beberapa kali, tapi tempat ujian yang kita cari belum juga dapat ditemukan. Tempat yang menurut Gugel Mep adalah lokasi ujian tujuanku, ketika kita datangi ternyata palah sebuah pub. Di depan pub--aku, kita berdua bingung sekali. Hari sudah begitu sore. Batre kami berdua habis. Aku lupa tidak membawa charger sementara saat ini kita sedang tersesat entah di daerah Sleman bagian mana.
Di pinggiran jalan di trotoar, aku tersadar kalau disini aku yang salah sejak awal. Pergi bersama sepupuku yang terkenal sebagai pria phk dengan bantuan gugel mep yang faktanya telah menyesatkanku beberapa kali. Beruntungnya, sepupuku masih bisa menemukan jalan pulang. Aku jadi berpikir mungkin seharusnya sejak awal aku pergi bersama seorang ustad saja, karena dialah yang bisa menunjukanku ke jalan yang benar.
Malam sebelum ujian sbmptn, aku sedang tidur-tiduran saja di depan TV ketika aku membuka path dan melihat salah satu teman SMPku, namanya Ririn, baru saja check out dari lokasi ujian yang alamatnya sama persis dengan yang tertera di kartu ujianku. Cepat-cepat aku menghubunginya dan memintanya untuk bertemu di sebuah halte dan berangkat bersama. Itulah kenapa akhirnya aku bisa berada disini sekarang. Duduk-duduk di depan ruang ujian sambil memegangi alat tulisku dengan gemetar.
Aku memeriksa kelengkapan alat tulis dan berkas-berkas yang harus kubawa lagi dan lagi. Memastikan kalau tidak ada yang tertinggal. Pensil 2B, aku sudah membawa empat batang dan meraut tiap ujung sisinya sampai tajam semalam; penghapus 2B hitam; penggaris berlubang untuk melingkari lembar jawaban; papan ujian dari kayu dengan penjepit diatasnya. Oh ya, kartu peserta ujian, pas foto, dan skhu--oke lengkap. Aku membawa semuanya.
Bel tanda peringatan untuk mulai memasuki kelas berdering. Setelah membuka kelas yang terkunci, dua orang pengawas berjalan memasuki ruangan, disusul oleh para peserta ujian yang memasuki kelas dengan tertib. Sambil membungkuk, aku memunguti barang-barangku yang berserakan di atas lantai, dan berlari memasuki ruangan sambil tergopoh-gopoh.
Sebelum ujian dimulai, salah seorang pengawas memeriksa kelengkapan berkas para peserta satu persatu dan memastikan takkan ada kecurangan selama ujian. Foto yang ada dalam database yang dipegang petugas dicocokkan dengan wajah para peserta satu-persatu.
Sejak duduk di kursi yang mejanya tertera nomor pendaftaranku, aku berusaha mengatur pernapasanku dan mengontrol perasaanku. Aku merasa begitu nervous dan tidak siap dengan semua ini, tapi aku tahu aku harus berusaha untuk tetap tenang. Ketika petugas perempuan yang memakai kacamata dengan frame bold, berambut seleher dan memakai lipstik yang menurutku warna merahnya ketebalan itu mendatangiku, dia beberapa kali menatap wajah asliku lalu fotoku di database dan mengulanginya lagi untuk beberapa kali. Dia menahanku lama. Dan setelahnya, dia curiga kalau aku adalah seorang joki.
"Jelaskan kenapa wajah aslimu beda dengan foto peserta di dabatase kami."
Deg! Aku yang awalnya sedang bersiul-siul dalam hati saat berusaha menenangkan diriku sendiri mendadak jadi panik gara-gara itu.
Petugas itu menatapku tajam dengan wajah galak."Kamu joki ya?"
"Bukan bu, bukan. Sumpah!" Elakku sambil memberikkan tanda dengan tanganku.
Dia melipat tangannya di dada, menghela napas ringan dan tetap berdiri di samping mejaku."Kok fotonya sama aslinya beda banget?"
Aku duduk dengan gelisah dalam posisiku. Kini, seisi ruangan sedang menatapku. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan tentangku saat ini, tapi tetap saja tatapan mereka semua membuatku semakin gelisah. Tidak ingin membuat urusannya jadi panjang dan di diskualifikasi dari ujian, aku meberanikan diri sendiri untuk berdiri. Jujur, aku malu mengakuinya didepan orang banyak, tapi aku tidak punya pilihan lain selain melakukan ini. Aku akan membuat pengakuan. Ya. Aku harus melakukannya.
"Sebenarnya sebelum dicetak, foto ini telah melalui tiga kali proses pemfilteran," kataku menjelaskan. "Proses pertama di retouch pake XiuXiu. Terus di edit pake efeknya Camera 360. Dan proses finishingnya pake Beauty Plus." Ketika aku telah selesai menjelaskan, seisi ruangan segera ber-oh panjang. Mungkin mereka kini memahami kalau aku hanya menginginkan foto dengan editan sempurna untuk dipasang di ijazah dan kertas-kertas lainnya.
"Jangan percaya sama foto bu, foto itu biasanya hanya hoax," tutupku sebelum akhirnya duduk kembali. Akhirnya, petugas perempuan dengan tampang tipe ibu tiri itu melepaskanku.
Lembar jawaban telah dibagikan. Lembar soal yang memuat soal-soal yang berbeda setiap mejanya telah disebar. Bel pertanda ujian dimulai juga telah dibunyikan.
Tidak tahu bagaimana dengan pekerjaan milik peserta lain--tapi aku sendiri belum mengerjakan satu soalpun sampai saat ini. Aku merasa tegang : pelipisku berkeringat parah dan perasaan ingin pipis begitu mengganggu konsentrasiku dan membuat kepalaku semakin sulit saat dipaksa berpikir. Aku menatap sekeliling sambil menahan keinginan untuk buang air kecil, aku ingin izin keluar ruangan tapi jika peserta ingin pergi ke toilet, peraturannya adalah sang peserta harus di kawal petugas sampai toilet untuk menghindari adanya kecurangan yang mungkin akan dilakukan. Jadi aku mengurungkan niatku untuk pergi ke kamar kecil dan berusaha menahannya sampai sesi ujian pertama berakhir.
Aku mulai mencoba memahami maksud soal nomor satu. Ketika melihatnya secara keseluruhan, aku hanya bisa cengo ditempatku. "KAMPRET!" Umpatku dalam hati.
"APA-APAAN NIH? SOAL MACAM APA NIH? EMANGNYA PERNAH DIAJARIN SOAL KAYA BEGINI?" Teriakku--masih dalam hati. Demi apapun, pola-pola ujian kali ini adalah pola-pola baru yang sama sekali berbeda dengan pola soal-soal tahun lalu yang kupelajari di tempat les. Aku menenggak ludahku sendiri yang terasa pahit ketika ditelan. Apa yang harus kulakukan? Apa aku mengarang saja? Tapi jika jawabanku salah, aku akan dapat poin -1 setiap satu soal dengan jawaban salah. Bagaimana ini? Ini baru tes kemampuan akademik dan belum apa-apa otakku seolah sudah kehabisan bahan bakar di perjalan.
Detik ini, setelah menengguk tetes terakhir dari botol air mineral kedua yang kubeli, aku bisa bernapas lega. Aku tidak tahu apa yang tadi kulakukan selama berada dalam ruang ujian--pokoknya aku tidak mau mengingat-ingat hal itu untuk saat ini. Yang jelas, isian dalam lembar jawaban yang kukumpulkan tadi kacau sekali.
Saat ini aku sedang duduk di sebuah rumah makan kompleks sekitar lokasi ujian: mengaduk gado-gado didepanku agar bumbu kacangnya merata. Tadi sebenarnya aku ingin makan nasi uduk saja, tapi warung-warung lain sudah terlanjur penuh sesak dengan para peserta lain dan sisanya hanya warung pecel dan gado-gado ini saja yang masih memiliki beberapa space kosong untuk diduduki.
Ketika aku sedangbmembuka mulut dan baru memasukkan satu suapan gado-gado kedalam mulutku, tiba-tiba saja seekor anjing jenis german shepherd berjalan keluar dari dalam warung,  menggonggong disebelah kakiku dan membuatku tersedak. Aku berhenti makan dan mulai terbatuk-batuk. Kepalaku terasa pening dan rasa pedas segera menjalar cepat dari mulut lalu naik menuju rongga hidungku.
Di sesi ujian kedua, karena kejadian yang menimpaku sebelumnya, otakku semakin tidak bisa dipaksa berpikir. Ketika mencoba memecahkan soal-soal itu, aku terus diganggu perasaan risih--entah ini benar atau tidak tapi aku merasa sesuatu telah tersangkut diantara saluran pernafasanku. Daun bayam. Aku mendesah keras. Tidak habis pikir, kenapa belakangan ini hidupku sial sekali.
Segera setelah keluar ruangan, orang-orang memutuskan untuk mencocokkan jawaban mereka dengan jawaban peserta lain yang memiliki kode yang sama atau sekedar mengeluh pada satu sama lain. Ketika aku keluar ruangan, aku tidak ingin apapun selain memutuskan untuk membuat meme.
"Ivy, hey!" Sapa Ririn ketika kita bertemu di toilet. Saat aku dan dia berjalan keluar dari toilet, dia mengajakku ngobrol soal ujian seperti yang dilakukan para peserta lain. "Gimana tadi matematika dasarnya?"
"Sukses," jawabku datar.
"Wiiih keren." Ia takjub. Bertepuk tangan kecil, lalu menambahkan, "Aku aja cuma bisa jawab satu soal."
"Sukses bikin kepalaku mau meledak maksudku," terangku sambil memukul-mukulkan kepalan tanganku ke kepala.
"Yeee dasar." Ia mencibir. Tapi tak lama setelahnya, perempuan berbadan mungil itu bertanya lagi, "Kalo tes potensi akademiknya gimana menurutmu?"
"Gampang lah," jawabku. Masih dengan ekspresi wajah yang datar.
"Demi apa gampang? Aku aja puyeng setengah mati ngerjainnya." Ia berkeluh. Wajahnya terlihat lesu. Aku yakin ujian kali ini benar-benar membuat isi otaknya terkuras.
"Gampang bikin aku stress maksudku." Mendengar jawabanku yang lagi-lagi seperti itu, ia menatapku seolah-olah akan mencekikku setelah ini. "Ivy, Aku lagi serius!!!" teriaknya frustasi. Memangnya siapa yang sedang bercanda? Aku juga sedang serius.

***

Selagi aku berjaga mengawasi pintu--kalau-kalau akan ada pengunjung, mataku tidak ada henti-hentinya mengawasi jarum jam yang hari ini, bagiku, berdetak lebih lambat dari biasanya. Sore ini, pukul lima, pengumuman hasil ujian sudah dapat dilihat di laman resmi di internet.
Selama menunggu pengumuman hasil ujian, aku memutuskan untuk ikut bantu-bantu di toko pakaian milik teman kakakku. Belum ada setengah bulan sejak hari pertamaku kerja, tapi dalam waktu yang sesingkat itu, kakiku sudah seperti sedang bersaing saja dengan kaki pemain sepak bola. Bengkak. Tapi itu bukan sesuatu yang mengherankan karena dari jam delapan pagi sampai setengah enam sore, kerjaanku hanya berdiri terus-menerus. Jarang sekali punya kesempatan untuk duduk, bahkan ketika sedang tidak melayani pelanggan. Paling-paling aku hanya bisa mencuri-curi duduk sebentar ketika semua kerjaan sudah benar-benar beres: baju-baju di gantungan sudah rapi, kain-kain di etalase sudah berada di tempat-tempatnya yang seharusnya--ya yang seperti itulah. Pekerjaan yang cukup melelahkan memang, tapi aku pasti akan merasa suntuk jika hanya menunggu pengumuman sambil menganggur saja di rumah.
Setelah menimbang-nimbang tentang kemampuanku ketika mengerjakan soal saat itu dan menghitung kemungkinanku untuk dapat melampaui passing grade yang ada, aku tidak terlalu optimis kalau aku akan lolos ujian itu. Tapi meski begitu, dalam hatiku yang terdalam, aku masih menyimpan harap.
Pilihan pertama yang kujatuhkan adalah Jogja dan karena aku bingung tentang pilihan terakhirku mau diisi apa, aku asal saja memilih Surakarta. Toh, belum tentu aku akan lulus ujian. Tapi jika aku lulus, aku berharap agar nantinya bisa diterima di Jogja saja, terserah-universitas manapun itu. Soalnya, aku buta sekali soal Surakarta. Aku belum pernah sekalipun pergi kesana dan tidak punya gambaran sama sekali bagaimana akan hidup disana. Sedangkan Jogja, aku sudah sering pergi ke sana dan ada banyak saudara yang bermukim disana. Bahkan jika aku diterima di universitas di Jogja, aku sudah punya gambaran akan tinggal dimana dan bekerja sampingan dimana.
Selepas pulang kerja, badanku lesu sekali. Sambil duduk di beranda rumah, aku masih mencoba mengakses situs pengumuman lewat laptopku sejak setengah jam yang lalu tapi halamannya sedang tidak bisa diakses karena servernya down. Ini terjadi karena terlalu banyak orang yang sedang mengakses halaman yang sama disaat yang bersamaan, atau bisa jadi karena kecepatan modem yang terlalu lamban. Karena merasa kesal dan tidak sabar lagi, aku menutup layar laptopku dengan kasar, masuk ke dalam kamar untuk meletakannya di atas meja lalu berjalan menuju garasi untuk mengambil sepeda. Lebih baik aku pergi ke warnet dengan koneksi cepat saja.
Begitu berada dalam bilik warnet, aku begitu shock melihat pengumuman yang tertera di layar.
Maaf, anda dinyatakan tidak lolos ujian SBMPTN.
"Maaf?" Aku tertawa pahit ketika membaca kata itu lagi. Maaf katanya?
"MAAF JIDATMU!" Umpatku  dengan berteriak pada layar monitor di hadapanku sambil mulai menangis.
Maaf? Hanya seperti itu saja? Segampang itu? Segampang itu petugas ujian menuliskan kata itu di layar orang-orang yang mereka tolak dan mereka pikir kata itu akan menyelesaikan semuanya? Mereka tidak mengerti sekeras apa memperjuangkannya selama ini.
Saat aku sedang dilanda emosi, tiba-tiba saja seseorang mengetuk papan bilikku beberapa kali. Cepat-cepat aku menghapus air mata yang masih menggenangi sudut-sudut mataku.
"Maaf...mbak? Ini bilik saya, tadi lagi saya tinggal ke toilet sebentar," ucapnya hati-hati.
Aku diam sebentar untuk berpikir, lalu perempuan itu berkata sopan, "Bisa tolong pindah ke bilik lain yang masih kosong, mbak?"
Aku menatap perempuan itu lalu menatap ke layar lagi secara bergantian, mengucek-ngucek mataku dan memastikan nomor ujian yang tertera di sana. Bukan. Ternyata itu bukan nomor ujianku.
"Oh--maaf..," kataku sambil bangkit dan keluar bilik yang ternyata sebelum aku datang, sudah punya pemilik itu. Sambil berjalan menuju bilik yang lain, aku menepuk-nepuk dahi sambil mengutuk diriku sendiri: bodoh sekali aku.
Saking lelahnya, aku sampai lupa kalau setibanya di warnet tadi, aku  belum sempat melakukan apa-apa di dalam bilik dan tiba-tiba saja pengumuman sbmptn sudah terpampang di hadapanku. Saking lelahnya sampai-sampai aku tidak menyadari kalau itu adalah halaman hasil tes milik orang lain.
Setelah duduk di sebuah bilik yang sudah kupastikan memang sedang tidak dipakai, aku memastikan nomor yang kuisikan di kolom yang tertera di layar sudah persis sama dengan nomor di kertas yang sedang ku pegang.
Selagi halamannya loading, aku mengguncang-guncang kedua tanganku yang terkepal di depan dada.
Tolong loloskan aku di Jogja, Tuhan. Please, Jogja! Jangan di Surakarta, Tuhan. Please, please, please! Kalau aku lolos, please Jangan loloskan aku di Surakarta.
Loading telah berhenti. Dengan sabar, aku membaca tulisan yang tertera layar dengan hati-hati,"Selamat, Anda dinyatakan lolos ujian seleksi di jurusan Sastra Alay di Universitas Negeri Sesuatu, Surakarta."
Awalnya, aku ingin melompat saking bahagianya, tapi ketika menyadari kalau aku lolos di universitas Surakarta, perasaan bahagiaku berangsur-angsur memuda.
"Su-ra-kar-ta." Ejaku dengan lemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar