Jumat, 19 Februari 2016

BAB 1

BAB 1: Dear Diary
Kemarin, aku baru saja keluar dari pintu gerbang kosanku, bersiap menuju halte bus trans, ketika tiba-tiba saja beberapa mahasiswa yang kutemui di jalan mampu mengeluarkan kekuatan dengan elemen-elemen yang berbeda dari telapak tangannya.
Aku nyaris menghampiri orang asing yang sedang duduk-duduk saja di sekitaran gerbang untuk bertanya sebelum akhirnya seseorang meneriaki namaku dari kejauhan.
"Ivy!"
Aku menghentikan langkah, menoleh pada sumber suara yang datang dari seorang perempuan berambut cepak disemir coklat dengan hem merah berkerah dan skinny jeans ketat yang tengah berlari menghambur ke arahku.
Sebuah bola api hitam sebesar bola kasti yang terbakar oleh kobaran api berwarna merah menyala melayang di atas telapak tangannya.
Aku hanya melongo ditempatku. Menampari kedua pipiku sendiri secara bergantian.
Hari ini, seperti orang-orang aneh disekelilingku, sahabatku di kampus juga memiliki kekuatan super! Apa yang sedang terjadi pada orang-orang ini?
"Bagaimana bisa!?" Pekikku padanya ketika ia sedang mengatur pernapasannya di depanku.
"Maksudmu?" Ia palah bertanya balik padaku.
"Bagaimana telapak tangan kalian bisa menyala dan memancarkan cahaya seperti sinar laser?"
"Ya Tuhan! Kau belum tahu? Kau punya wifi! Kosanmu memasang wifi! Apa saja yang kau lakukan di dalam kamar seharian hah? Kau tak pernah baca berita, huh?"
Tunggu. Tunggu. Aku sedang kebingungan, situasi disekitarku juga sedang membingungkan. Aku butuh jawaban. Tapi orang ini palah terus-terusan balik memberiku pertanyaan tanpa memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Ini benar-benar memusingkan.
"Aku tidak tahu apa-apa. Sungguh! Aku-tidak-tahu-apa-apa. Tolong jelaskan padaku semua yang kau ketahui."
Ia menatapku dengan tatapan seolah berkata-huh-dasar-orang-ini! Ia lalu menghela napas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita.
"Kau tahu gubernur baru yang terpilih beberapa waktu yang lalu?"
"Aku kesiangan dan tidak pergi ke TPU saat itu. Tapi sepertinya aku tahu yang mana. Yang potongannya agak mirip Hitler itu?"
"Tepat. Mau kuberitahu rahasia yang kudapat dari pamanku yang menjadi salah satu bawahan dari diktator itu?"
Aku mengangguk-angguk penasaran sambil mendengatkan telingaku padanya.
"Dia itu seorang diktator! Aku dengar dia mulai merubah tatanan kehidupan yang ada dalam masyarakat, mengganti kebijakan-kebijakan lama dengan kebijakan-kebijakan baru yang ia ciptakan untuk kesenangan pribadinya."
"Kau tahu kebijakan baru yang dikhususkannya untuk kalangan mahasiswa seperti kita?"
Aku menggeleng meski dia bukan sedang bertanya tetapi sedang memancingku.
"Yang aku dengar, Uang Kuliah Tunggal, SPP dan segala  jenis pembayaran akan dihapuskan. Biaya kuliah seluruh mahasiswa akan ditanggung oleh negara sepenuhnya."
"Apa kau serius? Bukankah itu berita yang sangat bagus untuk kita?" jawabku antusias.
"Dengarkan dulu ceritaku sampai selesai!"
"Dia memang akan meniadakan semua biaya perkuliahan, tapi harga dari semua itu adalah kebijakan baru berupa sistem gugur untuk melenyapkan mahasiswa yang kurang kompeten."
"Gantungan pintu yang dipasang petugas setempat ketika mengetuk pintu-pintu kamar kos kita kemarin malam, kau masih ingat? Benda itulah yang sekarang mengantarkan kita di dunia virtual. Di dunia dimana kita bisa membangkitkan kekuatan dari elemen yang paling dominan dalam tubuh kita. Mereka akan mengkondisikan kita agar saling menyerang satu sama lain sampai hanya ada mahasiswa-mahasiswa kompeten sajalah yang tersisa."
"Gila! Ini gila! Ada hal seperti ini dan tidak ada satupun orang berkuasa yang bertindak? Itu mustahil!"
"Gubernur baru itu bukan orang bodoh, Ivy! Dia telah merencanakan segalanya. Se-ga-la-nya. Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi di dunia virtual kecuali orang-orang pemantau yang menjadi bawahan diktator itu. Yang orang-orang tahu adalah kita sedang tertidur panjang di kamar kosan kita masing-masing. Satu persatu dari kita akan mati pelan-pelan tanpa ada yang tahu."
Setelah penjelasan Rin berhenti, angin dingin berhembus melewati tengkukku. Tenggorokanku terasa kering. Napasku tercekat dan wajahku memucat. Keadaan Rin sendiri? Tak jauh berbeda denganku meski ia sudah tahu hal itu lebih dulu.
Aku menggosok belakang leherku pelan. Aku telah sampai pada titik dimana aku tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Setelah keheningan yang panjang, Rin mencoba memulai obrolan, "Ngomong-ngomong dari tadi aku belum tahu elemenmu. Kau pengendali elemen apa?"
"Aku juga tidak tahu?"
Rin dan aku berhenti berjalan. Rin memberikan instruksi bagaimana cara memanggil kekuatan kami. Kuangkat tangan kiriku-karena aku kidal-, mengayunkannya beberapa kali, lalu memfokuskan pikiranku pada telapak tanganku seperti yang Rin ajarkan.
"Bergerak!" Perintahku.
Hening. Aku dan Rin saling pandang. Menunggu sesuatu terjadi.
Aku mengulangi cara itu lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
"Bergerak!!!" Teriakku untuk yang kesekian kalinya.
Tapi nihil. Tidak ada yang terjadi.
Rin mencengkram lenganku yang pipih sambil menatapku dalam. Tatapan matanya menimbulkan perasaan cemas dalam diriku.
"Jangan-jangan...kau tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen?"

Hari ini hari minggu, meski begitu hari ini aku bangun pagi. Dari tempatku berdiri aku mampu mendengar suara-suara teriakan, tertawa, umpatan, dan frustasi. Nyawaku belum terkumpul seluruhnya, jadi aku hanya diam saja ditempatku. Tadi, dua orang petugas pertahanan kompleks-yang lazimnya tak boleh memasuki area kos-kosan perempuan- menggedor-gedor pintu kamarku pagi-pagi sekali. Hanya untuk menggiringku bersama beberapa orang mahasiswa lain menuju bangunan terbengkalai di belakang kelurahan yang arealnya di pagari kawat besi. Di tempat itu aku dikumpulkan bersama beberapa orang mungkin 13 atau 15 mahasiswa yang tak kukenal.
Aku masih mengusap-usap wajahku yang mengantuk ketika seorang anak laki-laki dalam rombongan yang tadi memproklamirkan diri sebagai ketua, segera setelah kami dikumpulkan di tempat ini, menangkap sebuah siluet dari balik seruling yang difungsikannya sebagai teropong.
"Ada yang datang! Ada yang sedang menuju ke tempat ini!" teriak laki-laki yang sepertinya bernama Herman itu-aku menduga dari bordiran di atas saku baju korsa yang dikenakannya.
Ia menekan lingkar sekitaran matanya semakin dekat pada lubang teropong tradisionalnya untuk memperjelas fokus penglihatannya.
Art, senior satu jurusan yang berada dua tingkat di atasku di kampus berlari ke arahnya, merenggut teropong itu dari tangan kurus Herman.
"Calon gubernur yang kalah dalam pemilihan kemarin? Diakah itu? Untuk apa dia datang ke sini?"
Mahasiswa-mahasiswa yang sejak tadi posisinya berpencar kini bersama-sama menghambur mengerubungi mereka berdua. Sementara aku hanya mengekor di belakang mereka. Berada di kerumunan paling luar.
Seseorang datang mengendarai mobil yang : hanya dengan melihatnya sekilas kau bisa tahu kalau itu mobil anti peluru. Ketika laki-laki setengah baya itu keluar dari mobil, aku dan yang lainnya segera menyadari kalau dugaan Herman dan Art memang benar. Orang itu Pak Mir. Calon gubernur yang kalah dalam pemilihan yang lalu.
"Dengar semuanya!" Herman berteriak bagai orator. Teriakannya cukup membuat rasa kantukku pergi dalam sekejap.
"Kita tidak punya gambaran tentang apa yang akan terjadi nanti, maka dari itu kita semua harus siap dan berhati-hati, apapun yang terjadi. Mengerti semuanya?!" Orang-orang megangguk. Aku ikut-ikutan mengangguk saja karena semua orang melakukannya. Di bawah komando Herman, kami patuh seperti bawahan.
Dengan pengawalan ketat di kiri kanan, laki-laki dengan pawakan seperti Inspektur dalam serial detektif conan itu melangkah dengan elegan, memasuki lapangan impres yang dipenuhi atmosfir kesuraman.
Laki-laki itu berdehem. Sepasang mata tajamnya yang meruncing ke samping beredar menatapi kami, "Kalian tahu alasan kalian di kumpulkan disini?"
Ketika pertanyaan itu diajukan, aku satu-satunya orang yang menggeleng diantara mereka. Kebanyakan dari mereka mengangguk, sementara sisanya memilih tak melakukan apa-apa.
Herman, sang jubir, berbicara mewakili kami semua, "Karena kami tidak bisa mengeluarkan elemen dari telapak tangan kami?!"
"Kurang lebih seperti itu."
"Kalian adalah orang-orang sortiran."
"Kalian memang tak bisa menyerang orang lain karena kalian tidak memiliki elemen apapun yang dominan dalam tubuh kalian, tapi keuntungan dari hal itu adalah kalian punya kelebihan untuk membatalkan kekuatan milik orang lain."
"Kalian adalah senjata-senjataku untuk memerangi diktator itu."
"Lagi nulis apa?"
"Eh?" Mendengar suara itu, aku terkesiap lalu cepat-cepat menutup layar laptopku. Suara itu berasal dari seseorang yang menyembulkan kepalanya dari celah jendela yang terbingkai dalam tembok di sebelah bangku yang tengah ku duduki.
"Kamu lagi nulis apaan sih?" Ulangnya lagi. Kini Lin, perempuan berwajah oriental berambut merah kusut-karena terlalu sering di semir-itu menyandarkan dagunya pada bingkai jendela. Kedua tangannya berpegangan pada bingkai kayu itu.
"Eh? Aku--enggak-bukan. Maksudku bukan apa-apa kok," kataku kemudian yang segera ditanggapinya dengan oh panjang dan diiringi anggukan, tak berusaha bertanya lebih jauh tentang apa yang kutulis.
"Ke kantin yuk, vy," ajaknya padaku, berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia segera ingat kalau aku bukan tipe orang yang merasa nyaman jika ditanyai lebih lanjut tentang kegemaranku yang satu itu. Di sela-sela pelajaran yang membosankan, Lin sering mempergoki aku sedang mencorat-coret bukuku dengan tulisan-tulisan yang random dan jika dia bertanya soal apa yang sedang kutulis, aku selalu bilang 'bukan apa-apa' dan langsung mengalihkan pembicaraan. Meski dia tidak mengerti, tapi dia selalu berusaha memahamiku. Itulah kenapa aku suka berteman dengannya.
Tadi, sebenarnya aku sedang menulis fanfiction. Aku memang suka menulis fanfiction. Aku bukan orang yang pandai berbicara, apalagi bicara masalah perasaan, itulah kenapa aku suka menulis. Aku bisa mengatakan apapun yang ada didalam hati dab kepalaku tanpa mengeluarkan suara. Aku memang menulis hanya untuk iseng, tapi kadang-kadang keinginan untuk menjadi penulis masih terselip di hatiku. Kakakku tak pernah suka jika aku menulis. Jika dia tahu aku masih suka menulis sampai sekarang, dia pasti akan memarahiku habis-habisan. Mungkin karena itu, aku jadi suka menulis sembunyi-sembunyi, meski sedang tidak ada kakakku disekitarku. Aku pernah berkata padanya ingin jadi jurnalis. Tapi begitu mendengarnya, ia palah menangis. Setelah itu, aku tak pernah menyinggung-nyinggung soal impianku lagi di depannya.
Sembari membantuku memasukkan alat tulisku yang berserakan di atas meja, Lin merajuk padaku, "Jangan menyendiri di kelas kayak gini dong."
"Ini kan hari pengambilan ijazah. Besok besok pasti kita udah bakalan jarang bisa ketemu kaya sekarang. Ikut aku ngumpul sama temen-temen yang lain yuk? Ngobrolin apa gitu. Anak-anak yang lain lagi pada nongkrong di kantin."
Aku menghela napas panjang setelah mendegar ocehannya "Iyadeh, iya," ucapku tanpa semangat sambil memasukkan laptop ke dalam tas gendongku, sementara file holder berwarna biru tua yang didalamnya terdapat ijazah, transkrip nilai, beberapa lembar sertifikat, dan buku tahunan itu kubawa dengan sebelah tanganku dan mengapitkannya ke dada. Pagi ini, segera setelah kakakku keluar dari kantor, benda ini sukses membuatku kenyang dengan omelan-omelan yang di lontarkan kakak di toilet. Aku tidak bisa berkata apapun apalagi membela diri ketika melihat wajahnya yang sudah begitu frustasi. Aku tahu dia sudah lelah mengurusku seorang diri selama ini dan pagi ini apa yang ia dapatkan? Orang yang dia urus dengan susah payah selama ini palah mencetak ijazah dengan skor-skor yang payah.
"Ayo, cepetan!" Perempuan berambut keriting gantung itu menyeretku keluar dari kelas, tak sabar melihat caraku berjalan yang hari ini begitu lamban.
Sesampainya di kantin, Lin segera menggerutu begitu melihat populasi orang-orang yang disana telah berkurang sejak ditinggalnya pergi memanggilku di kelas untuk mengajak bergabung. "Yah, kan udah pada pulang. Kamu kelamaan sih." Ia mendesah. Sekarang hanya tinggal dua orang teman sekelas kami yang masih duduk-duduk saja di katin. Menghabiskan gorengan hangat milik Bu Sugeng yang tersaji di meja makan.
"Si Lesbian, kemana aja dari tadi? Dicariin nggak nongol-nongol di kantin," gurau Jessica padaku, menyengol lenganku dengan sikunya.
"Lesbi jidatmu." Aku menoyor dahinya, tapi perempuan itu hanya tertawa. Mungkin dia merasa puas jika ledeka nya mampu membuat raut sebal terbentuk di wajahku.
Hanya karena aku tidak pernah terlihat dekat dengan anak laki-laki di STM dan tak pernah membicarakan laki-laki tampan di sekolah kami, teman-teman sekelasku membercandai aku dengan julukan lesbian. Awalnya aku memang marah, tapi kini aku sudah terbiasa dengan itu. Ku akui aku memang tidak pernah dekat dengan lelaki dari kelas manapun di sekolahku selama ini, tapi aku bukan lesbi. Aku hanya belum pernah pacaran. Aku dapat berkata dengan yakin kalau aku normal karena sebenarnya, aku pernah menyukai seorang anak laki-laki teman sekelasku di SMP dulu dan--entahlah, mungkin sampai sekarang, aku masih menyukainya. Aku juga tidak tahu dan tidak lagi mau tahu soal bagaimana perasaanku padanya kini.
"Gimana nilai-nilai di Ijazah kalian?" Tanya Fira pada kami bertiga segera setelah minuman pesanan kami bertiga datang.
Jessica mengusap-usap dahinya yang selebar lapangan golf itu. Dia terlihat pusing. "Kampret. Nilai-nilai di Ijazahku hancur tak berbentuk."
"Kalo kalian gimana?"
"Punyaku lumayan sih, aku kan udah ikut les sebelum ujian, jadi agak bisa dikit waktu ngerjain soal kemaren," kata Fira sambil menggigit roti piscok yang baru diambilnya dari nampan di depannya.
"Punyaku juga mendingan nilainya." Lin menimpali.
"Iyalah, kalian kan emang udah pinter dari dulu-dulu." Aku menyeletuk. Memang begitulah kenyataannya. Meski kami berempat berteman dekat tapi nasib kami benar-benar berbeda. Fira dan Lin tak pernah tak masuk peringkat lima besar di kelas, sementara aku dan Jessica, nasib kami mengenaskan. Kalau sedang beruntung, kami bisa berada di peringkat tengah-tengah, tapi biasanya, kami selalu berada di peringkat sepuluh terbawah di kelas.
"Kalo nilaimu gimana vy?" Tanya Fira kemudian.
"Ya gitulah. Paling juga berapa. Nggak tega aku liatnya." Sejak kakakku menyerahkan file holder ini padaku sebelum dia pulang, aku belum pernah sekalipun membukanya sampai sekarang. Suara omelan kakakku dan ancaman yang dikatakannya tadi bahkan masih terngiang-ngiang di telingaku sampai sekarang. Kusandarkan kepalaku diatas meja kantin yang permukaannya agak lembab. Pelipisku berdenyut-denyut keras. Rasanya kepalaku begitu sakit seakan mau meledak.
"Oya, kalo kalian mau makan pesen aja. Nanti aku yang bayar, deh."
Aku, Jessica dan Lin kini menatap Fira heran secara bersamaan. Tapi kemudian Jessica bertanya mewakili kami berdua, "Tumben banget. Kesambet apa kamu sampai mau nraktir kita-kita?"
"Jadi gini ceritanya, aku diterima kerja di PT idamanku dengan posisi yang kuinginkan. Aku lagi seneng banget, makanya aku mau bagi kebahagiaanku ke kalian. Aku kurang baik apa coba?" Fira tertawa sesumbar.
"Wah, kamu udah ketrima kerja? Secepat ini? Sial. Enak banget." Lin mendesah, "Aku masih nunggu panggilan, entah sampai kapan."
"Aku juga," keluh Jessica. Sementara aku, aku hanya membentur-benturkan kepalaku di atas meja.
"Kamu kenapa sih vy? Lagi tertekan banget keliatannya." tegur Fira ketika menyadari ekspresi wajahku yang kusut begitu mereka membicarakan soal pekerjaan.
"Aku stress," kataku lesu. Kali ini aku sudah berhenti membentur2kan dahiku ke atas meja. Awalnya tidak berasa apa-apa tapi lama-lama rasanya sakit juga.
Jessica merapatkan kursinya padaku. "Kenapa sih? Cerita dong sama kita."
"Aku nggak tau apa yang harus kulakukan setelah lulus kaya sekarang. Kepalaku sakit saat dipaksa mikir soal masa depan. Aku nggak tau mau dikemanakan hidupku setelah ini. Aku harus gimana?" Terangku pada mereka. Aku yakin kalau kali ini, suaraku terdengar putus asa.
Lin terlihat berpikir sebentar lalu berkata, "Kamu kerja aja kaya kita-kita. Anak lulusan STM kaya kita kan tujuannya emang setelah lulus langsung kerja kan?"
"PT mana lagi yang harus aku kirimin surat lamaran, Lin? Aku udah ngelamar dimana-mana dan nggak ada satupun dari PT-PT itu yang menyatakan aku lolos. Mataku udah minus banyak." Keluhku sedih. Tidak tahu pabrik mana lagi yang harus kukirimi surat lamaran pekerjaan. Aku sendiri tahu dengan jelas alasan mereka menolakku : pabrik-pabrik industri tidak bisa mempekerjakan pegawai yang minus matanya sudah lebih dari tiga. Di samping itu, juga tidak dapat dipungkiri kalau nilai raporku terlalu pas-pasan.
"Gimana kalo kamu nikah aja?" Celetuk Fira tiba-tiba, membuat Lin dan Jessica seketika tertawa. Aku sendiri hanya menepuk dahi mendengarnya. Menyarankan untuk menikah pada jomblo desperate sepertiku adalah sesuatu yang menggelikan.
"Yaelah, nikah sama siapa coba?" Tanyaku pada Fira. Pertanyaan yang lebih cocok kuajukan pada diriku sendiri sebenarnya.
Aku meneruskan, "Lagipula, cowok mana yang mau nikah sama cewek yang judes, jutek, manja, rempong hidupnya, suka pilih-pilih makanan, nggak bisa mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, nggak bisa masak pula."
Setelah aku selesai berkata-kata, kini ketiga sahabatku menatapku bersamaan dengan ekspresi seolah-olah sedang berkata-kau benar-benar orang yang tidak punya harapan.
"Kalo gitu kamu nerusin kuliah aja, gimana?" usul Jessica. Aku menatapnya tidak percaya, tidak biasanya dia berkata benar seperti itu. Biasanya yang keluar dari mulutnya hanya candaan.
Aku mendesah panjang, "Pengennya sih gitu, tapi kakakku cuma mau ngebiayain kuliahku kalo aku keterima di Perguruan Tinggi Negeri. Kan susah buat masuk PTN."
"Emang kenapa kalo di universitas swasta?"
"Dia bilang biayanya mahal, Jess."
"Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa nanti?"
"Beasiswa? Dengan nilai ancur kaya gini? Siapa yang mau ngasih, Lin?"
"Kalo kamu nggak kerja, nggak nikah, dan nggak kuliah, terus kamu mau ngapain?"
"Kakakku bilang, dia bakal ngirim aku jadi TKW ke Arab. Jadi pembantu."
"What? Pembantu vy? Hell, no!"
Ya. Pembantu. Membayangkannya saja aku sudah ingin menangis.
"Nggak mungkin lah, masa kakakmu sekejam itu?" Ya. Kenyataannya dia memang sekejam itu kepadaku. Aku ini adik kandungnya, tapi dia memperlakukanku seperti anak tiri saja.
"Entahlah, mungkin dia udah hopeless sama aku."
"Gimana kalo kamu nanti disiksa?" Mendengar Lin mengatakan itu, gambaran tentang majikan yang sedang menyetrika wajah pembantunya terbayang dibenakku. Tidak. Tidak. Aku tidak mau diperlakukan seperti itu.
Belum selesai membayangkan tentang wajah yang disetrika, Jessica palah tambah menakut-nakutiku dengan berkata, "Gimana kalo kamu kebagian majikan yang mesum vy? Bisa-bisa kamu pulang ke Indonesia sambil gendong bayi kaya yang di berita-berita."
"Stop! Stop! Stooop!" Teriakku sambil menyumpalkan kedua tanganku ditelinga. Tidak bisa. Tidak boleh. Tidak mau. Aku tidak mau jadi pembantu.
Aku menengadah, kulihat medung sudah menggelayut di langit, menggantikan birunya langit dengan gumpalan awan berwarna abu-abu pekat. Angin sore yang berhembus kencang kini bertiup menimpa tubuhku. Dapat kurasakan tubuhku yang mulai menggigil dan sudah hampir membeku. Sambil mempercepat langkahku, aku langsung melangkahkan kakiku masuk ke supermarket sebelah sekolahku. Sebenarnya tadi setelah dari kantin, aku dan teman-temanku memutuskan untuk pergi belanja bersama-sama dan ke tempat karaoke dulu sebelumnya. Tapi setelah dari tempat karaoke, ibu Fira menelponnya untuk segera pulang dan mengantarnya pergi kondagan. Sementara Lin, dia cepat-cepat pergi karena dia harus ke tempat kerja part timenya di sebuah kafe. Kalau Jessica, pacarnya menjemputnya sebelum kami sempat masuk ke tempat karaoke. Akhirnya, beginilah aku sekarang, pergi belanja seorang diri karena orang-orang itu sudah pergi.
Dengan seksama, aku memperhatikan merk-merk susu yang ada dalam rak. Mataku tidak pernah luput beralih dari satu merk susu ke merk yang lain, membuatku tidak menyadari keberadaan orang-orang disekitarku. Aku mendesah. Aku belum menemukan merk susu penggemuk badan yang kucari. Tapi aku tidak mau menyerah. Mataku terus berkeliling. Dengan sudut mataku, aku masih mencari merk susu yang kuinginkan. "Ketemu!" Aku segera tersenyum puas ketika mendapati susu itu terselip di ujung rak. Aku mengulurkan tanganku, berusaha meraih susu penggemuk badan yang tinggal satu-satunya itu, tapi gerakanku seketika terhenti saat uluran tangan dengan jari-jari yang panjang telah mengambilnya terlebih dahulu. Aku mendesah kecewa, lalu menoleh ke arah pemilik tangan yang urat-uratnya menonjol itu.
Seorang laki-laki berkulit cokelat yang sedang tersenyum begitu manis.
Seolah menyadari kalau sosoknya sedang diperhatikan, laki-laki itu pun menoleh. Dan seketika itu juga, senyum yang begitu manis terkembang di wajahnya. Sedangkan aku, tubuhku tiba-tiba menegang dan membeku dalam posisiku.
Aku bisa melihat sosok tinggi itu kini menatapku dengan wajah yang masih tersenyum cerah.
"Ivy...? Ivy kan?" Tegurnya padaku. 
"L-light?" Aku mendapati mulutku yang tiba-tiba bergumam sangat pelan dengan suara bergetar. Laki-laki yang selama ini berusaha kuhindari saat ini tengah berdiri tepat dihadapanku.
Ia menepuk bahuku, masih dengan senyum tak percaya. "Kamu apa kabar?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar