Senin, 18 Januari 2016

BAB 15: Muvon

๐Ÿ‚Muvon๐Ÿ‚
Aku ingin tertawa. Tidak tahu kenapa, lucu saja bagiku. Rasanya seperti baru kemarin, aku dan dia berebut buku perpustakaan, berebut sapu piket, berebut bangku untuk duduk, kita berebut banyak hal. Aku ingat sekali betapa isengnya dia waktu kita berada di kelas tujuh sampai-sampai aku memukul punggungnya dengan buku cetak dan kemudian dia jatuh sakit. Dia selalu menggangguku, apapun yang kulakukan. Dia merebut bolpoinku ketika aku sedang menulis. Dia menyembunyikan tip-xku dengan sengaja ketika aku benar-benar butuh. Waktu itu aku merasa, dia benar-benar anak laki-laki yang super menyebalkan. Jadi aku mengacuhkannya, dan perlahan hubungan pertemanan kita mulai menjadi jauh. Dia selalu buang muka jika berpapasan denganku di jalan, dan aku tak pernah ada niatan untuk memanggilnya duluan. Kita benar-benar seperti orang asing. Dan ketika kelas delapan, saat aku tak lagi berada satu kelas dengannya, aku mulai merasa aku merindukannya.
Aku pernah memimpikan hal ini sebelumnya. Duduk berdua saja dengannya, membicarakan apa saja bersamanya, dan tertawa lepas bersama-sama.
#Tokoh utama cerita gimana dia dulu suka banget sama dia tp semuanya berubah. Tokoh utama menolak cinta pertamanya untuk laki-laki yang belum jelas perasaannya.

Dia masih orang yang sama. Dia masih laki-laki yang pernah kusukai pertama kali di sekolah menengah pertama. Akupun masih sama saja. Aku masih teman perempuan sekelasnya yang pernah diam-diam menyukainya. Kemarin-kemarin aku juga masih menganggap kalau belum ada satupun yang berubah diantara kita. Tapi ternyata aku salah. Perasaanku padanya tak lagi sama. Perasaanku padanya telah berbeda.

"Dari awal kita berteman, aku selalu merasa kalau dari sekian banyak teman perempuan yang kau punya, aku hanya salah satu dari teman biasa lainnya. Meski kita berada di kelas yang berbeda setelahnya, aku masih sering memikirkanmu. Tapi aku tidak yakin kau pernah memikirkanku juga. Karena ketika kita bertemu, aku selalu jadi orang yang menunggu, tapi kau tak pernah tergerak untuk menyapaku duluan. Aku ingin kau teringat padaku sesekali. Itulah kenapa aku selalu berusaha untuk berada di peringkat atas, hanya karena aku ingin tampak di matamu."
"Dari saat itu aku tidak pernah melihat laki-laki lain karena laki-laki yang kuharapkan hanya kamu."
"Lalu?"
"Lalu hari itu datang. Hari ketika aku menitipkan surat pernyataan cintaku pada sahabatku dan dihadapanmu, dia palah mengakui kalau surat itu darinya untukmu. Aku sakit hati sekali. Padahal aku begitu mempercayainya."
"Lama aku tidak berbicara dengannya. Hubungan kami jadi buruk. Aku yang tersakiti disini. Tapi tidak tahu kenapa palah aku yang harus minta maaf duluan. Aku memintanya untuk jujur padamu tentang semuanya. Tapi ketika semuanya telah jelas, kau tidak bisa memutuskan untuk memilih siapa diantara aku dan sahabatku. Itulah kenapa dulu aku memutuskan untuk menyerah memperjuangkanmu, aku bukanlah pilihan. Jika kau bingung antara aku dengan orang lain, tolong jangan pilih aku."
"Jadi bagaimana?"
"Aku tidak bisa menerima ini."
"Kenapa? Kenapa begitu? Katamu kau menyukaiku sejak lama? Lagipula itu semua sudah jadi masa lalu. Sudah saatnya bagi kita buat memulai cerita yang baru."
"Awalnya aku juga mengira kalau aku masih memiliki perasaan itu. Tapi ketika kita duduk berdua seperti ini, ngobrol berdua seperti ini, aku menyadari kalau perasaanku padamu, juga sudah jadi masa lalu."

Aku teringat hukum kekekalan energi yang dengan iseng kuubah menjadi hukum kekekalan cinta di sela-sela pelajaran ipa yang bagiku terasa sangat membosankan.
"Cinta itu tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, cinta hanya dapat dipindahkan dari satu hati ke hati yang lain." Hukum itu akhirnya berlaku di hidupku. Tapi di waktu yang tidak tepat.
Hari ini, aku menolak cinta pertamaku. Aku menolak cinta pertamaku hanya karena aku merasa kalau perasaanku telah beralih pada seorang laki-laki yang tak jelas bagaimana perasaannya terhadapku. Aku menolak dia hanya untuk lelaki yang seperti itu. Bodoh. Aku bodoh sekali.
#Mas TI pergi magang jauh ke Jepang.
Pamit pulang duluan ke crushnya soalnya mau liat mas Sebastian pergi di bandara buat yang terakhir kalinya.
Dia liat pas mas Sebastian keluar dari taksi, ngeluarin barang-barang dibantuin sama temen-temen kosnya, tapi dia nggak menghampiri mereka. Dia cuma liat dari suatu tempat di sekitar sana. Di halte, mas Sebastian telepon.
"Lagi dimana?"
"Di jalan mas, kenapa?"
"Bisa nemuin aku sebentar nggak di Bandara? Aku mau berangkat."
"Oh...anu, maaf mas aku nggak bisa."
"..."
"Mas?"
"Kok diem aja?"
"Iya? Iya maaf ini tadi lagi nggak fokus. Kenapa tadi kamu bilang nggak bisa ya?"
"Iya mas, aku nggak bisa."
"Lagi jalan sama gebetanmu ya?" Aku hanya menjawab pertanyaannya dengan tertawa.
"Cie yang lagi seneng."
"Yaudah kalo nggak sempet kesini. Mas cuma mau ngomong doang kok ke kamu."
"Jangan kebanyakan minum kopi ya. Jangan keseringan minum cola sama minum-minuman bersoda lainnya. Begadang boleh, tapi jangan tiap hari juga. Kuliah yang bener, kurangin bolosannya. Katanya mau nerusin kuliah di Jepang? Jaga diri baik-baik. Kabarin mas kalo ada apa-apa."
"Baru kali ini denger mas Sebastian ngomong banyak. Mas bisa rewel juga ya."
"Kamu ini. Yaudah, gitu aja. Oya, oya satu lagi. Sukses ya, buat hubungannya. Pokoknya apapun yang terjadi nanti, mas doain yang terbaik buat kamu."
"Iya iya, makasih mas. Udah mas nggak perlu kawatir. Udah ada yang jagain aku kok disini. Aku juga udah lumayan bisa ngurus diriku sendiri. Mas yang semangat ya! Ganbatte kudasai!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar